MAESTRO pelukis dunia Raden Saleh Syarief Bustaman memakai simbol banteng buat menggambarkan perlawanan rakyat pribumi terhadap penjajah.
Pemerintah kolonial Belanda dia simbolkan sebagai dua ekor singa yang lagi mengeroyok banteng. Inti lukisan yang menceritakan banteng melawan singa itu diberinya judul Singa Dan Banteng, yang dia bikin di Paris tahun 1848.
Sukarno yang penggemar wayang juga gemar menggunakan simbol-simbol seperti burung Jatayu dan tokoh Bima alias Werkudoro, yang merupakan bapak dari Gatot Kaca yang perkasa.
Jatayu adalah eyewitness (saksi mata) bagaimana Dewi Shinta diculik oleh Rahwana.
Burung pemberani dan setia kepada raja itu kemudian melakukan perlawanan keras terhadap Rahwana yang merupakan simbol angkara murka, ketamakan, dan keserakahan.
Selanjutnya Jatayu melaporkannya kepada Rama.
Rahwana alias Prabu Dasamuka alias Raja Seribu Wajah adalah pemimpin gerombolan raksasa yang bukan saja menakutkan bagi rakyat, tetapi juga komplotan di bawah asuhan Rahwana ini dilukiskan suka merampas hak-hak rakyat.
Berkat laporan Jatayu-lah semua kejahatan Rahwana terungkap.
Menurut cerita, untuk mengakhiri riwayat Rahwana, Rama menggunakan senjata Brahmasta yang tidak biasa.
Senjata ini menembus dada Rahwana dan merenggut nyawanya seketika.
Ada versi lain menyebut bahwa sebenarnya Rahwana mati moksa belaka, yaitu berganti wujud dalam bentuk lain, antara lain berubah menjadi gelembung-gelembung udara atau oksigen yang kemudian menjadi biang dari segala kejahatan ketika terhirup oleh umat manusia.
Demikianlah cerita-cerita mitos dan juga kisah-kisah faktual di atas, yang berisi pesan bahwa perjuangan umat manusia dan tindakan-tindakan heroisme dalam mencapai kebenaran seringkali mencakup simbol-simbol yang merepresentasikan semangat, keberanian, kesungguhan, keberpihakan, dan kemauan untuk mengubah keadaan menjadi lebih baik.
Belum lama ini Menko Maritim Dan Sumber Daya, Dr Rizal Ramli, memperkenalkan kepada publik istilah Rajawali Ngepret.
Banyak yang mengatakan bahwa penggunaan simbol Rajawali ini juga merepresentasikan semangat, keberanian, kesungguhan, keberpihakan, dan kemauan untuk mengubah keadaan menjadi lebih baik.
Tentu konteks perbaikan keadaan yang dimaksud bukan untuk Negeri Astina atau Negeri Alengka sebagaimana karangan dalam kisah-kisah wayang, melainkan adalah buat Indonesia.
[***]
Dikutip dari halaman 1 koran Rakyat Merdeka, edisi Selasa 25 Agustus 2015.