President Advocacy Center for Indonesian Farmers (ACIF) Sutrisno Iwantono meminta pemerintah mengambil langkah cepat menurunkan harga daging sapi. Hal ini dikaitkan dengan dampak penurunan kecerdasan generasi mendatang.
"Daging adalah sumber protein hewani yang menentukan tingkat kecerdasan anak-anak. Dikhawatirkan harga daging yang tinggi akan mengurangi konsumsi daging sebagai sumber protein hewani yang penting," kata Sutrisno Iwantono di Jakarta, Sabtu (22/8).
Diapun merujuk sebuah penelitian rata-rata IQ orang Indonesia masih rendah hanya 87 masih di bawah Malaysia 92, Thailand 91 atau Singapore 108. Hal ini, kata Iwantono, ada kaitannya dengan gizi yang kurang baik.
"Rata-rata konsumsi daging sapi orang Indonesia hanya sekitar 2 hingga 2,5 kg per kapita per tahun, sedang Malaysia sudah 15 kg dan Phillipina saja sudah 7 kg per tahun per capita," bebernya.
Menurut Iwantono, harga yang tinggi dan kelangkaan daging sapi jelas punya dampak bagi masa depan kecerdasan anak bangsa akibat kekurangan asupan gizi. Kenaikan harga daging sapi saat ini terjadi karena kelangkaan pasokan (supply) di pasar, para pedagang mogok karena kesulitan menjual daging dengan harga tinggi.
Dijelaskannya, dari sejumlah sumber data diketahui kebutuhan daging sapi nasional sekitar 650 ribu ton atau setara dengan 3,6 juta ekor sapi atau rata-rata 300 ribu ekor per bulan. Supply (pasokan) sapi lokal hanya sekitar 400 ribu ton atau kurang lebih 2,3 juta ekor sapi. Dengan demikian masih terjadi defisit sekitar 250 ribu ton, atau 1,3 juta ekor atau sekitar 325 ribu ekor per triwulan.
Defisit ini biasanya dipenuhi dengan cara impor. Persoalan timbul ketika pemerintah dalam hal ini Departemen Pertanian hanya mengijinkan impor sebanyak 50.000 ekor sehingga terjadi kelangkaan yang mengerek harga secara tidak normal hingga harga daging mencapai Rp 130-140 ribu per kg.
Mantan Ketua KPPU itu menambahkan, persoalan tambah rumit karena struktur pasar impor sapi ini tidak sehat. Ditengarai ada kartel dalam proses investigasi Komisi Pengawas Persaingan Usaha (KPPU), dari temuan KPPU diketahui pelaku impor hanya ada 24 perusahaan.
Menurut Iwantono, jumlah pelaku usaha yang sedikit menciptakan ruang gerak leluasa untuk membentuk kartel. Secara teori pasar yang strukturnya oligopoli tend to form cartelâ€. Beberapa indikasi sebenarnya sudah nampak misalnya hasil temuan Bareskrim di Banten ada satu perusahaan yang memiliki stok sapi cukup banyak, bahkan ada 500 ekor yang siap di potong tetapi tidak di potong. Ada yang memiliki 4000 ekor siap potong, tetapi tetap dikandangkan.
Ditambahkannya, pengendalian pasokan yang dilakukan secara bersama-sama dengan tujuan meningkatkan harga adalah prilaku antipersaingan yang dilarang menurut Undang-Undang No 5 Tahun 1999. Tinggal bagaimana KPPU dengan kewenangannya membuktikan praktek kartel itu memang terjadi. Sejak tahun 2013 peristiwa seperti ini telah terjadi, dan KPPU pada waktu itu juga sudah melakukan monitoring, sayangnya sampai sekarang hasilnya belum jelas.
Sebenarnya, kata Iwantono, kunci utama masalah daging sapi ini, intinya pemerintah harus all-out memberdayakan peternak lokal agar kita bisa swa-sembada daging dan menghapus impor. HKTI pada 2013 telah mengusulkan impor boleh dilakukan tetapi sifanyat sementara, dan impor harus "dibinding" dengan kewajiban mengembangkan peternakan dalam negeri. Misalnya setiap impor sapi pedaging harus disertai kewajiban impor induk sapi betina untuk menghasilkan anakan guna memberdayakan peternakan local. Sampai pada suatu titik dimana impor tidak diperlukan lagi.
Bersamaan dengan itu upaya pencegahan pemotongan induk sapi betina dan penyebaran teknologi kawin silang dengan inseminasi buatan harus diprogramkan secara prioritas.
"Pada jangka pendek ini impor bisa dilakukan, tetapi sebaiknya oleh BULOG dengan kontrol yang ketat, dilakukan secara transparan sehingga harga pasti bisa lebih murah. Dan dalam proses pengawasannya perlu melibatkan organisasi petani seperti HKTI dan organisasi peternak yang lain," pungkasnya.
[ian]