Di era pemerintahan Jokowi-JK sudah dua gelombang dieksekusi mati terhadap terpidana kasus narkoba.
Tapi tindakan tegas dengan hukuman berat tersebut tidak berimbas efek jera terhadap orang-orang yang berkecimpung di bisnis haram ini.
Faktanya, Jumat (10/7) lalu, Polda Metro Jaya kembali mengungkap kasus penyelundupan besar. Tidak tanggung-tanggung, 360 kilogram narkoba jenis sabu. Disinyalir dari jaringan sindikat Hong Kong.
Apa ini mengindikasikan hukuman mati belum cukup ampuh membersihkan narkoba dari Indonesia? Bagaimana tangÂgapan Kepala Badan Narkotika Nasional (BNN) Komjen Anang Iskandar?
Jenderal bintang tiga itu mengurai sejumlah akar permasalaÂhan. Di atas kertas, dibuatnya coretan peta persoalan dan strategi yang tengah digagasnya.
Berikut wawancara
Rakyat Merdeka dengan Anang Iskandar, di ruang kerjanya, kantor BNN, Jakarta, Senin (3/8):
Apa eksekusi mati tidak mempan membuat efek jera bagi orang yang berkecimÂpung di bisnis ini?Bukan tidak mempan, tapi ekÂsekusi mati saja belum cukup.
Apa lagi yang dilakukan?Kita juga harus memutus koÂmunikasi dan menyita seluruh asetnya. Sebab ketika pelakunya ditahan, selama ini komunikasÂinya masih jalan dan asetnya tidak disita. Makanya sang pelaku masih punya kemampuan menjalankan bisnisnya. Dari balik jeruji penjara sekalipun. Ini yang tak membuat efek jera.
Meskipun nantinya diekÂsekusi mati?Walaupun si pelaku mati, tapi jaringannya masih hidup, masih banyak. Maka, komunikasi ke jaringannya ini harus diputus total.
Bagaimana caranya agar jaringan dan komunikasi pengedar di Lembaga Pemasyarakatan (Lapas) bisa benar-benar diputus?Setiap Lapas tidak boleh ada sinyal atau jaringan, atau dirusak jaringannya.
Apa itu sudah jalan?Belum semua, kan Lapas banyak sekali di Indonesia. Tapi sudah kita sampaikan kepada Kemenkumham, kita ada forum informal yang dilakukan secara periodik, untuk menyatukan persepsi terkait hal itu. Mulai dari Mahkamah Agung, Jaksa, Polisi, Kemenkumham, dan BNN.
Kenapa jaringan pengeÂdarnya masih saja betah beroperasi di Indonesia?Karena permintaannya masih banyak. Setiap tahun terus meningkat. Itu kan ibaratnya dalam ilmu ekonomi disebut supply and demand. Ketika permintaanÂnya banyak, akan ada saja yang berupaya untuk memasok.
Kok bisa permintaan semakin meningkat, apa akar masalahnya?Nah itu, kita selama ini beÂlum ada pemahaman yang utuh antara para penegak hukum unÂtuk penanganan kasus narkoba.
Maksudnya?Ketika ada penyalahguna narkoba, mereka ditahan, bukan direhabilitasi. Yang ditahan, bukannya sembuh tapi malah menjadi pencandu. Bayangkan ada sekitar 21.000 lebih penyalahguna yang dipenjara. Jika mereka penyalahguna, tidak direhabilitasi, maka akan menÂjadi pecandu. Kebutuhannya akan narkotika semakin besar. Akibatnya, potensi permintaan narkoba di Indonesia juga menÂjadi semakin meningkat dari tahun ke tahun.
Bukankah di dalam unÂdang-undang juga memuat hukuman penjara bagi penyalahguna?Ya, tapi pemahamannya harus utuh. Dalam pasal 54 UU Nomor 35 tahun 2009 tentang Narkotika misalnya, di situ disebutkan, pecandu narkotika dan korban penyalahgunaan narkotika waÂjib menjalani rehabilitasi medis dan rehabilitasi sosial. Maka penyalahguna dan pecandu itu perlu di-assessment, keterangan tingkat kecanduan. Setelah dikeÂtahui, harus ditransformasikan melalui assessment baru menÂjadi pecandu, hukumnya wajib direhabilitasi.
Bagaimana dengan yang secara sukarela menyerahkan diri untuk direhabilitasi, apa ada potensi dituntut pidana?Kalau dia atau keluarganya secara sukarela lapor ke rumah sakit, maka orang ini tidak diÂtuntut pidana dan mendapatkan rehabilitasi. Gratis. ***