Indikasinya, penyerapan tenaga kerja tidak maksimal, sehingga tidak ada kepastian pendapatan masyarakat, maka daya beli pun berkurang.
Menanggapi hal itu, Ketua Umum Himpunan Pengusaha Muda Indonesia (HIPMI) Bahlil Lahadalia berpendapat bahwa perlambatan ekonomi yang terÂjadi di Indonesia tidak semata-mata dipengaruhi oleh faktor eksternal (luar negeri).
Yang paling dominan, menurut jebolan Manajemen Keuangan Universitas Cenderawasih Papua itu justru disebabkan oleh faktor internal. Yakni kebijakan peÂmerintah. Stimulus anggaran Pemerintah untuk menggairahÂkan perekonomian dalam negeri masih sangat minim.
"Selain itu, profesionalitas penegakan hukum juga sangat menentukan. Kini di jajaran eksekutif, sebagian besar tidak berani melelang proyeknya karena takut hukum," kata Bahlil Lahadalia.
Pihak pemerintah, lanjutnya, acapkali 'mengkambinghitamÂkan' perlambatan ekonomi dunia dan
currency war (perang mata uang) yang membuat ekonomi Indonesia belakangan ini seÂmakin melemah.
Berikut kutipan selengkapÂnya:Kondisi saat ini bukankah memang akibat dari perlamÂbatan ekonomi global?Tapi diperparah lagi dengan kebijakan internal negara kita. Bayangin ketika sektor ekonomi menurun, tambang kita menurun 40 persen, hasil perkebunan kita turun 30-35 persen, properti 35-40 persen, logistik 25 persen, jasa turun 20 persen, hotel 35 persen, jadi ini semua terjadi termasuk di sektor konsumsi.
Kenapa itu bisa terjadi?Itu akibat dari penyerapan tenaga kerja kita yang tidak maksimal, akhirnya tidak ada kepastian pendapatan, maka daya beli masyarakat kurang.
Apa yang harus dilakuÂkan?Pemerintah harus menciptakan lapangan pekerjaan. Dengan menarik investasi tapi melibatkan tenaga kerja dari dalam negeri. Stimulus dari pemerintah itu harus segera dicairkan. Jangan sampai investasi masuk dari suatu negara, sampai tenaga kasarnya pun dari negara terseÂbut. Contohnya seperti China, sampai supir truk pun dari sana.
Maksudnya?Dari total anggaran, belanja modal, belanja publik baru 12 persen saja yang dicairkan. Padahal itu diharapkan menjadi
bufferzone ekonomi nasional.
Kok bisa demikian?Karena pemerintah tidak mampu menyelesaikan persoalan internal mereka terkait penyeÂsuaian nomenklatur, kemudian aturan yang menyulitkan diri sendiri.
Apa contoh dari aturan yang menyulitkan diri sendiri itu?Contohnya, setiap pencairan anggaran KPA (Kuasa Pengguna Anggaran) itu harus menanÂdatangi pakta integritas, bahÂwa kalau ada masalah, yang menanggung adalah orang yang menandatanganinya.
Selain itu, kita bingung, baru mau tender, baik panitia maupun pelaksana yang mengerjakan pekerjaan, sudah disorot aparat penegak hukum. Jadi sebeÂnarnya negara ini mau dibawa kemana.
Artinya?Ada persoalan di eksternal ya. Tapi juga lebih dominan internal. Bayangkan dengan Rp 2.000 triliun itu mampu perÂcepatan penyerapannya maka minimal bisa menjaga ketahÂanan ekonomi nasional. Berapa suplier bahan lokal yang tidak bisa bekerja, berapa produksi semen, besi, pasir, berapa tenaga kerja kasar.
Jadi angka-angka infrastrukÂtur itu sampai sekarang hanya angka-angka di atas kertas, karena sampai sekarang belum terealisasi. Itu kalau kita mau kaji secara jujur ya, hasil evaluasi kami di daerah-daerah.
Apa kesimpulan dari pertemuan Anda di daerah-daerÂah?Kesimpulan kita adalah segera kita melakukan revitalisasi, men-sett pola pikir birokrasi, dalam implementasi program pemerintah untuk mewujudkan kesejahteraan. Contoh, sebagian eksekutif masih belum berani melelang proyeknya karena takut hukum.
Bagaimana caranya memÂbikin eksekutif jadi berani?Pemerintah harus bikin konÂsensus dengan aparat penegak hukum.
Bukankah penegakan huÂkum juga diperlukan?Implementasi hukum kita bagus, saya setuju, untuk pemÂberantasan korupsi. Tetapi pemÂberantasan korupsi yang profeÂsional.
Artinya, tidak profesionalÂnya penegakan hukum saat ini juga menjadi biang kerok melambatnya ekonomi?Saya tidak mengatakan ketidakprofesionalitasnya, tapi yang ingin saya katakan adalah kerja sama yang baik. Untuk memberikan rasa nyaman dalam implementasi pekerjaan. ***