Korban penyiksaan diminta untuk tidak segan meminta baik perlindungan maupun bantuan dari Lembaga Perlindungan Saksi dan Korban (LPSK).
Demikian disampaikan Ketua LPSK, Abdul Haris Semendawai dalam siaran pers yang diterima di Jakarta, Sabtu (27/6).
Ia juga mengimbau para pendamping korban untuk dapat memanfaatkan amanat UU 13/2006 tentang Perlindungan Saksi dan Korban, seperti telah disempurnakan melalui UU 31/2014. Kemudian untuk aparat penegak hukum, lanjut dia, LPSK berharap dapat menghindari tindakan-tindakan yang masuk kategori penyiksaan dalam proses penegakan hukum.
"Sebaiknya dihindari tindakan-tindakan yang masuk kategori penyiksaan untuk mendapatkan keterangan, baik dari pelaku, saksi maupun korban," kata Semendawai, menambahkan.
Semendawai mengemukakan, ada banyak alasan mengapa LPSK melihat kasus penyiksaan yang terjadi di Tanah Air sebagai prioritas. Salah satunya karena ini adalah kejahatan ini adalah kejahatan yang luar biasa dan diakui oleh komunitas internasional sebagai norma yang tidak boleh dilanggar.
Pada UU 13/2006 tentang Perlindungan Saksi dan Korban, masih kata Semendawai, memang hanya memandatkan tindak pidana tertentu sebagai prioritas, yaitu pelanggaran HAM berat, korupsi, narkotika/psikotropika, terorisme dan tindak pidana lain yang posisi saksi atau korban sangat terancam jiwanya, sehingga tidak secara spesifik menyebut saksi dan korban penyiksaan.
Meski demikian, LPSK telah menangani sejumlah korban penyiksaan yang sesuai dengan definisi Konvensi Anti Penyiksaan, kendati di dalam penegakan hukum disebut sebagai penganiayaan ringan/berat, atau penganiayaan yang menyebabkan matinya orang atau pengeroyokan secara bersama-sama.
"Secara komitmen, LPSK telah mencoba memosisikan sebagai lembaga yang memberikan perlindungan serta layanan terhadap saksi dan korban penyiksaan," katanya.
Seperti diketahui, peringatan Hari Anti-Penyiksaan Internasional jatuh setiap tanggal 26 Juni.
[wid]