. Ada sejumlah kekeliruan dalam Peraturan KPU (PKPU) 9/2015 tentang Pencalonan Pilkada. Dua diantaranya terdapat didalam Pasal 36 yang mengatur tentang pendaftaran pasangan calon oleh partai politik yang sedang mengalami perselisihan kepengurusan.
Demikian disampaikan Direktur Eksekutif Sinergi Masyarakat untuk Demokrasi (Sigma), Said Salahuddin, dalam keterangan beberapa saat lalu (Rabu, 26/5).
Said menjelaskan, di dalam Pasal 36 ayat (2) dinyatakan "Apabila ... terdapat penetapan pengadilan mengenai penundaan pemberlakuan keputusan Menteri ...". Penggunaan kata "pemberlakuan" dalam frasa tersebut jelas keliru. Seharusnya yang benar adalah "pelaksanaan", bukan "pemberlakuan".
"Dalam hukum tata usaha negara kita tidak pernah dikenal adanya Penetapan pengadilan mengenai penundaan pemberlakuan Keputusan Tata Usaha Negara (KTUN). Yang ada adalah Penetapan mengenai penundaan pelaksanaan KTUN," kata Said.
Mungkin, lanjut Said, KPU bermaksud mempersamakan "penundaan pemberlakuan" dengan "penundaan pelaksanaan". Tetapi keduanya jelas punya makna yang berbeda. Penetapan "penundaan pelaksanaan" KTUN oleh pengadilan punya implikasi hukum yang lebih luas.
Penetapan penundaan pelaksanaan KTUN oleh pengadilan tidak sekedar menimbulkan konsekuensi terhentinya pemberlakuan atau daya laku (gelding) dari KTUN bersangkutan, tetapi juga menyebabkan pengembalian keadaan hukum ke posisi semula (restitutio in integrum) sebelum KTUN dimaksud disengketakan.
"Jadi untuk menghindari permasalahan hukum saya sarankan agar KPU segera merevisi Peraturannya itu. Dikhawatirkan, pihak yang merasa terpojok dengan adanya Penetapan 'Penundaan Pelaksanaan' Keputusan Menkumham akan memanfaatkan dan berlindung dibalik kekeliruan KPU tersebut. Mereka bisa menegasikan adanya fakta hukum tentang Penetapan Penundaan Pelaksanaan Keputusan Menkumham dimaksud," jelas Said.
Kekeliruan yang kedua, masih kata Said, terdapat didalam Pasal 36 ayat (3) terkait keharusan bagi menteri (Menkumham) untuk menerbitkan keputusan tentang penetapan kepengurusan partai politik hasil kesepakaran perdamaian. Ketentuan itu mengandung dua persoalan.
Pertama, keliru jiika KPU mengatur lembaga dari cabang kekuasaan yang lain didalam peraturannya. Itu diluar yurisdiksi mereka. Dengan mengatur menteri, itu sama saja KPU sedang mengatur Presiden. Sebab menteri itu pelaksana kekuasaan Presiden.
Kedua, pengaturan KPU agar menteri menerbitkan keputusan tentang penetapan kepengurusan partai politik hasil kesepakaran perdamaian menimbulkan ketidakpastian hukum. Sebab, kalau Menkumham menerbitkan keputusan seperti yang diminta oleh KPU, maka nantinya akan ada dua keputusan menteri, yaitu; Keputusan awal Menkumham yang mengesahkan kepengurusan Agung Laksono di Partai Golkar dan kepengurusan Romahurmuziy di PPP; dan Keputusan Menkumham yang mengesahkan kepengurusan Partai Golkar dan PPP hasil kesepakatan perdamaian.
"Dua Keputusan Menteri itu justru menciptakan ketidakpastian hukum. Bagaimana mungkin ada dua keputusan dari pejabat yang sama untuk persoalan yang sama, tetapi isinya berbeda," demikian Said.
[ysa]