Berita

sri mulyani/net

KASUS TPPI

Bareskrim Tak Perlu Ragu Periksa Sri Mulyani

JUMAT, 15 MEI 2015 | 16:11 WIB | LAPORAN: YAYAN SOPYANI AL HADI

. Dalam mengusut dugaan tindak pidana korupsi dalam proses penjualan kondensat bagian negara ke PT Trans Pacific Petrochemical Indotama (TPPI), Bareskrim Mabes Polri tak perlu ragu untuk segera memeriksa mantan Menteri Keuangan Sri Mulyani.

Menurut Direktur Centre for Budget Analysis (CBA), Uchok Sky Khadafi, dugaan keterlibatan mantan Sri Mulyani ada pada pemberian persetujuan untuk penunjukan langsung penjualan kondesat dimaksud. Sri Mulyani diduga tetap memberikan persetujuan terhadap pembayaran tidak langsung melalui Surat Nomor S-85/MK.02/2009 tanggal 12 Februari dengan merujuk pada Surat Deputi Finansial Ekonomi dan Pemasaran BP Migas. Persetujuan itu disampaikan kepada Direktur Utama TPPI lewat surat Nomor 011/BPC0000/2009/S2 tanggal 12 Januari 2009 tentang Penunjukan PT TPPI sebagai penjual kondensat bagian negara.

"Padahal surat Deputi Finansial Ekonomi dan Pemasaran BP Migas tidak boleh dipakai sebagai landasan hukum atas persetujuan Kemenkeu ini. Kalau tidak ada persetujuan dari Menkeu, tidak mungkin ada pemberian penujukkan langsung kepada TPPI. Karena itu, Sri Mulyani harus diperiksa dong atas persetujuan tersebut, dan Bareskrim jangan pilih kasih dalam penegakkan hukum," kata Uchok dalam keterangan beberapa saat lalu (Jumat, 15.5).


Uchok menegaskan bahwa Deputi Finansial Ekonomi dan Pemasaran dimaksud bukan pejabat yang berwenang. Dan hal itupun jelas-jelas bisa diduga telah melanggar prosedur sesuai keputusan Kepala BP Migas Nomor KPTS-20/BPOOOOO/2003-S0 tentang Pedoman Tata Kerja Penunjukkan Penjual Minyak Mentah Kondensat Bagian Negara.

"Bareskrim Mabes Polri harus fokus pada dua modus tindak pidana dugaan korupsi di kasus itu. Modus pertama adalah penunjukan langsung dan yang kedua adalah pengiriman kondesat sebelum adanya penandatanganan Kontrak Seller Appointment Agreement (SAA)," ungkap Uchok.

Menurutnya, penunjukan langsung penjualan kondesat itu telah berpotensi merugikan keuangan Negara. Kata Uchok, BP Migas, yang kini berbama SKK Migas, telah melanggar prosedur sesuai Keputusan Kepala BP MIigas Nomor KPTS-20/BPOOOOO/2003-S0 tentang Pedoman Tata Kerja Penunjukan Penjual Minyak Mentah Kondensat Bagian Negara. Dalam proses penetapan PT TPPI pun tidak terdapat dokumentasi hasil penilaian pemeriksaan dari Tim Penunjukan Penjual Minyak Mentah Kondensat Bagian Negara sebagai dasar penetapan penunjukkan langsung PT TPPI, untuk selanjutnya diolah di kilang dalam negeri.

Selain itu, keputusan penetapan pertama kali PT TPPI sebagai penjual kondensat bagian negara ditetapkan oleh pejabat yang tidak berwenang yaitu Deputi Finansial Ekonomi dan Pemasaran BP Migas. Sang Deputi mengeluarkan penetapan TPPI melalui surat kepada Direktur Utama PT TPPI Nomor 011IBPCOOOO/2009/S2 tanggal 12 Januari 2009.

Selanjutnya, potensi kerugian Negara berasal dari total pengiriman kondensat kepada PT TPPI sebanyak 33.090.190,66 barel atau senilai 2.716.894.359,49 dolar AS. Atas nilai tersebut, TPPI telah membayar senilai 2.577.660.993,51 dolar AS. Sehingga masih terdapat utang TPPI senilai I39.233.365,98 dolar AS atau ekuivalen Rp 1.346.386.649.026,60 dengan kurs tengah Bank Indonesia 28 Desember 2012 adalah Rp 9.670 per dolar AS.

Kemudian, atas keterlambatan pembayaran utang TPPI, ditagihkan penalti sebesar 11.745.929,23  dolar ASdan telah dibayar senilai 10.659.366,12 dolar AS. Sehingga terdapat piutang atas penalti senilai 1.086.563,11 dolar AS atau ekuivalen Rp 10.507.065.273,70 dengan kurs Rp 9.670 per dolar AS

Modus kedua, kata Uchok, adalah ada pengiriman kondesat bagian Negara kepada PT. TPPI sebelum kontrak penunjukkan penjual ditandatangani dengan nilai sebanyak 21.600.062,66 barel atau dengan nilai sebesar Rp 1.546.843.450,22. Rinciannya, SAA ditandatangani pada 23 April 2010 dengan masa berlaku surut dari 23 Mei 2009-23 Mei 2010. Pengiriman kondensat sebelum penandatanganan kontrak SAA dengan volume sejumlah 15.539.499,02 barel senilai 1.104.206.185,54 dolar AS

Amandemen pertama SAA ditandatangani pada 21 Oktober 2010, berlaku surut dari 23 Mei 2010-23 Mei 2011. Pengiriman kondensat sebelum penandatanganan Amandemen pertama SAA dengan volume sejumlah 6.060.563,64 barel senilai 442.637.264,69 dolar AS. [ysa]

Populer

Mantan Jubir KPK Tessa Mahardhika Lolos Tiga Besar Calon Direktur Penyelidikan KPK

Rabu, 24 Desember 2025 | 07:26

Kejagung Copot Kajari Kabupaten Tangerang Afrillyanna Purba, Diganti Fajar Gurindro

Kamis, 25 Desember 2025 | 21:48

Sarjan Diduga Terima Proyek Ratusan Miliar dari Bupati Bekasi Sebelum Ade Kuswara

Jumat, 26 Desember 2025 | 14:06

Mantan Wamenaker Noel Ebenezer Rayakan Natal Bersama Istri di Rutan KPK

Kamis, 25 Desember 2025 | 15:01

8 Jenderal TNI AD Pensiun Jelang Pergantian Tahun 2026, Ini Daftarnya

Rabu, 24 Desember 2025 | 21:17

Camat Madiun Minta Maaf Usai Bubarkan Bedah Buku ‘Reset Indonesia’

Selasa, 23 Desember 2025 | 04:16

Adik Kakak di Bekasi Ketiban Rezeki OTT KPK

Senin, 22 Desember 2025 | 17:57

UPDATE

Slank Siuman dari Jokowi

Selasa, 30 Desember 2025 | 06:02

Setengah Juta Wisatawan Serbu Surabaya

Selasa, 30 Desember 2025 | 05:30

Pilkada Mau Ditarik, Rakyat Mau Diparkir

Selasa, 30 Desember 2025 | 05:19

Bukan Jokowi Jika Tak Playing Victim dalam Kasus Ijazah

Selasa, 30 Desember 2025 | 05:00

Sekolah di Aceh Kembali Aktif 5 Januari

Selasa, 30 Desember 2025 | 04:50

Buruh Menjerit Minta Gaji Rp6 Juta

Selasa, 30 Desember 2025 | 04:07

Gegara Minta Duit Tak Diberi, Kekasih Bunuh Remaja Putri

Selasa, 30 Desember 2025 | 04:01

Jokowi-Gibran Harusnya Malu Dikritik Slank

Selasa, 30 Desember 2025 | 03:45

Pemprov DKI Hibahkan 14 Mobil Pemadam ke Bekasi hingga Karo

Selasa, 30 Desember 2025 | 03:05

Rakyat Tak Boleh Terpecah Sikapi Pilkada Lewat DPRD

Selasa, 30 Desember 2025 | 03:02

Selengkapnya