Gusti Kanjeng Ratu Hemas/net
Sabda Raja Yogyakarta yang berisikan perubahan nama Hamengku Buwono menjadi Hamengku Bawono dan mengubah gelar anak pertamanya GKR Pembayun menÂjadi GKR Mangkubumi, masih ditanggapi pro kontra.
Ada yang menduga, perubahan nama putri Sri Sultan Hamengku Bawono X itu untuk membuka kesempatan perempuan sebagai penerus tahta. Tapi ada juga menilai sebaliknya.
Sebenarnya apa maksud dan tujuan di balik pergantian nama itu? Simak wawancara Rakyat Merdeka dengan istri Sultan Hemangku Bawono X, Gusti Kanjeng Ratu Hemas berikut ini:
Apa benar pergantian nama itu untuk menyerahkan tahta kesultanan pada anak peremÂpuan Anda? Itu kan hanya perkiraan orang. Sedangkan yang dilakukan Sultan itu hanya pemberian pergantian nama. Pergantian nama beliau, dan pergantian nama anak saya, kan gitu.
Kalau begitu, apa tujuanÂnya? Nggak ada tujuannya. Memang harus ganti nama.
Setelah ganti nama, apa ada keistimewaan atau perlakuan khusus untuk anak peremÂpuan pertama Anda itu? Oh, nggak ada. Masih semua sama. Ini atinya, kondisi dan traÂdisi yang ada di keraton tetap sama. Nggak ada perbedaannya kok.
GKR Mangkubumi waktu itu sempat dikabarkan duduk di Watu Gilang, yang kemudiÂan dimaknai sebagai penerus tahta, apa itu benar? Itu saya kira prediksi orang aja. Memang begitu ganti nama, karena dia sebagai putri mahÂkota, berarti dia memang harus duduk di situ. Sama juga sepÂerti adiknya Pak Sultan, yang Hadi Winoto kan juga gelarnya Kanjeng Gusti Pangeran Haryo itu sebetulnya anak tertua gitu lho. Jadi jangan dipersepsikan yang lain-lain.
Setelah pergantian nama, apa ada tugas-tugas baru yang akan diemban? Oh, belum, belum ada. Kita kan juga harus menyelesaikan pergantian nama. Kalau warga negara ganti nama harus dilaporÂkan ya. Saya kira itu saja.
Perubahan nama di catatan kependudukan maksudnya? Ya.
Apa ada pembicaraan khusus dengan Sultan sebelum dilakÂsanakannya Sabda Raja? Nah, itu dia mas. Saya saja, kalau perempuan kan harus konde-an ya. Jadi kita itu dikasih tahunya tengah malam. Terus adik-adik dikasih tahunya jam enam pagi.
Kemudian memberi kodenya hanya begini (dari Sultan ke isÂtrinya); besok, kamu pakai kain, pakai sanggul. Waktu saya tanya ada apa, jawabnya ya sudah saya nyuruh kamu pakai itu besok. Pemberitahuannya cuma begitu sama istrinya.
Lantas apa maksud dari era baru yang disampaikan Sultan, apa ada tradisi baru di Keraton? Begini, era baru itu karena beliau diharuskan ganti nama, berarti sudah putus perjanjian itu. Dengan perjanjian terpuÂtus, berarti harus melakukan hal-hal yang baru. Hal-hal baru ini kan jangan dipikir yang negatif.
Contohnya apa? Misalnya, beliau itu harus melakukan yang sifatnya tradisi harus dijaga. Kemudian kita juga melihat sekarang adanya perubahan setelah reformasi. Jadi setelah reformasi kan ada perubahan. Nah perubahan itu harus dilakukan. Beliau sendiri masih belum tahu kira-kira apa yang harus diubah. Sampai saat ini beliau hanya dapat wangÂsitnya itu adanya perubahan dengan nama baru itu.
Konsolidasi dengan keluÂarga bagaimana, apa masih ada pro kontra? Karena dia (adiknya Sultan) tidak hadir saat kita menjelaskan kepada masyarakat (mengenai perubahan nama itu), mungkin masih belum memahami betul. Atau memang ada hal-hal yang menurut mereka itu tidak pas, gitu lho. Pro-kontra dalam satu keluÂarga besar itu biasalah. ***