. Sidang gugatan perdata terhadap Jakarta Intercultural School (JIS) yang saat ini masih berlangsung memunculkan kejanggalan baru. TPW, penggugat sekaligus orang tua MAK, mantan murid TK di JIS yang dituduh jadi korban sodomi, ternyata menggunakan keterangan medis yang didasari oleh pemahaman tidak konklusif yang secara tidak akurat digunakan untuk mendukung tuduhan sodomi terhadap anak penggugat.
Dalam kasus pidana terhadap petugas kebersihan di JIS, TPW menyatakan bahwa anaknya positif mengidap herpes genital yang disebabkan virus herpes simpleks 2 (HSV-2). Tes yang dilaksanakan pada bulan Maret 2014 itu mengemukakan hasil positif terhadap pembentukan antibodi IgM terhadap HSV-2 namun terbukti negatif untuk pembentukan antibodi IgG terhadap HSV-2. Dalam kesaksiannya, Profesor Kevin Baird dari Universitas Oxford menyatakan bahwa tes IgM memiliki tingkat ketidakpastian yang tinggi dan tidak serta merta membuktikan bahwa MAK terinfeksi HSV-2. Profesor Baird menjelaskan lebih lanjut bahwa diperlukan tes IgG lanjutan untuk memverifikasi apakah benar MAK terinfeksi herpes atau tidak. Sementara pemeriksaan tersebut tidak
pernah dilakukan.
Pengacara yang mewakili TPW dalam kasus perdata menyerahkan dokumen pendukung untuk memperkuat tuntutan mereka berupa hasil laboratorium dari RS Bhayangkara tertanggal 16 Juli 2014. Dalam dokumen itu hasil tes IgG terhadap HSV-2 MAK negatif dengan hasil tes IgM di ambang batas positif.
Pengacara yang mewakili TPW dalam kasus perdata menyerahkan dokumen pendukung untuk memperkuat tuntutan mereka berupa hasil laboratorium dari RS Bhayangkara tertanggal 16 Juli 2014. Dalam dokumen itu hasil tes IgG terhadap HSV-2 MAK negatif dengan hasil tes IgM di ambang batas positif.
Menurut Profesor Baird, hasil tes IgG kedua negative yang dilakukan empat bulan setelah tes pertama menunjukkan bahwa MAK tidak terinfeksi HSV-2. Pada tanggal 7 April 2015, beliau memberikan kesaksian pada sidang perdata JIS yang menyebutkan MAK tidak terinfeksi herpes geital atau infeksi penyakit menular seksual lainnya. Hasil tes laboratorium RS Bhayangkara sebagai dasar pernyataannya. Kedua, hasil laporan laboratorium di bulan Maret dan Juli mengklarifikasi bahwa MAK tidak terinfeksi HSV-2 yang artinya tidak mengidap herpes genital. Hal itu merupakan sebuah fakta bukan opini.
Di kesempatan yang sama, Dokter ahli bidang forensik, dr Ferryal Basbeth menyatakan, dari hasil kesimpulan akhir yang dijadikan bukti ke persidangan terungkap bahwa kasus ini direkayasa sejak awal. Bila merujuk pada hasil pemeriksaan medis, hasil pemeriksaan dari SOS Medika, RSPI dan RS Polri sudah dapat menyimpulkan kondisi anus MAK masih normal.
Ferryal menegaskan, prosedur pemeriksaan anus MAK juga patut dipertanyakan. Sebab, sedianya pemeriksaan terhadap anus anak harus dilakukan pembiusan. Tujuannya untuk memaksimalkan pemeriksaan atau mengantisipasi anak bila tidak kuat menahan rasa sakit. Pemeriksaan tersebut seharusnya dilakukan melalui proses anastesi dan prosedur anuskopi harus dilakukan di ruang operasi bukan di ruang UGD, sehingga hasilnya bisa mendeteksi penyakit seks menular.
Merujuk pada hasil pemeriksaan dr Lutfi dari RS Pondok Indah (RSPI), terlihat jelas bahwa pemeriksaan visum terhadap MAK tersebut belum tuntas sehingga hasil dari temuannya belum dapat disimpulkan secara mendalam. Nanah yang ditemukan terletak di bagian dalam anus anak tersebut. "Saat dr Lutfi memberikan obat flagyl, hal ini diperlukan untuk mengobati efek infeksi umum yang disebabkan amuba, bukan yang disebabkan penyakit seksual menular seperti gonorrhoea atau
Chlamydia. Nanah yang terdapat di anus MAK bukan disebabkan oleh infeksi virus, namun diakibatkan karena bakteri. Apabila kondisi tersebut diakibatkan sodomi beramai-ramai, maka akan menimbulkan anus robek. Nyatanya semua visum menyatakan anus normal. Kalau anus robek, maka penyembuhan antara seminggu hingga dua minggu. Bila anak disodomi orang dewasa pasti robek," kata Ferryal.
Mengacu pada tuduhan kejadian dalam kurun waktu Desember 2013 sampai dengan Maret 2014, seharusnya anus korban robek atau rusak. Selain itu bila pelaku sodomi memiliki penyakit herpes, maka korban sodomi pasti akan tertular.
Kevin Baird juga mendukung langkah dr Lutfi dari RS Pondok Indah. Dimana, herpes tidak menyebabkan nanah dan MAK tidak didiagnosa dengan infeksi herpes pada saat itu maupun diberikan pengobatan untuk mengatasi herpes. Berdasarkan resep dr Lutfi yaitu flagyl menunjukkan dignosa klinis akan adanya amoba yang menyebabkan proctitis. Dalam kesaksiannya di kasus perdata, Prof. Baird memebenarkan diagnosa Dr Lutfi yang terbukti efektif terlihat dari setelah empat hari MAK menjalani pengobatan dan kembali ke klinik ternyata tidak ditemukan prockitis dan ia terbukti sembuh. "Flagyl terbukti menghilangkan gejala dan keluhan. Kalau benar ia terkena herpes, gonorrhea atau chlamydia tidak bisa sembuh dengan flagyl," tegasnya.
Prof. Baird menambahkan pemahaman yang tidak benar atas hasil laporan tes laboratorium yang sesungguhnya telah mengakibakan dampak tragis pada hidup orang-orang yang tidak bersalah. Semua orang yang terlibat harus benar-benar mempertimbangkan bahwa bukti laboratorium forensik menunjukkan hasil yang secara sah dan meyakinkan mematahkan segala tuduhan kekerasan seksual terhadap MAK.
"Asumsi akan adanya infeksi herpes genital pada MAK adalah sebuah kesalahan besar. Hal tersebut tidak pernah ada dan nyata terlihat dari hasil pemeriksaan medis," tandasnya.
[sam]