SECARA mengejutkan Presiden Joko Widodo dihadapan publik menyalahkan Menteri Keuangan Bambang Brodjonegoro atas keluarnya Perpres No. 39 Tahun 2015. Perpres tersebut menaikkan uang muka pembelian mobil untuk para pejabat yang tadinya hanya Rp 116 juta pada tahun 2010 melonjak menjadi Rp 210 juta.
Secara keseluruhan dibutuhkan dana Rp 158 miliar untuk uang muka 753 mobil pejabat.
Kebijakan uang muka mobil pejabat menuai kecaman bertubi-tubi dari berbagai kalangan. Publik geram kepada Presiden Joko Widodo yang secara brutal menaikkan BBM, TDL, gas elpiji, dan tarif kereta ekonomi, tetapi di sisi lain memberikan fasilitas mewah kepada para pejabat. Menghadapi kecaman bertubi-tubi, Jokowi ternyata cuci tangan dan kemudian menyalahkan menterinya.
Inilah kali kedua Presiden Jokowi menyalahkan dan mempermalukan menterinya di hadapan publik. Sebelumnya, Presiden Joko Widodo juga mempermalukan Menteri Perdagangan Rahmat Gobel yang dianggap tidak memberi laporan harga beras setelah dilakukannya operasi pasar.
Mestinya Presiden Jokowi kalau menganggap para menterinya berbuat kesalahan cukup menegurnya di ruang tertutup. Kalau dipandang kesalahannya sangat fatal presiden bisa langsung memecat menteri yang bersangkutan. Sikap menimpakan kesalahan kepada bawahan dan sekaligus mempermalukan bawahan di hadapan publik, bukanlah mencermikan sikap seorang negarawan. Sikap demikian lebih pantas disandang oleh para pecundang.
Dibalik itu, sikap Presiden Jokowi yang tidak bertanggung jawab atas keluarnya pepres, membuka tabir ketidakkompakkan kabinet. Karena sebelumnya mulai dari Menkeu Bambang Brodjonegoro, Menteri PAN-RB Yuddy Chrisnandi, hingga Wapres Jusuf Kalla bersikukuh bahwa kebijakan tersebut sudah melalui pertimbangan yang matang.
Selain itu, pengakuan Presiden Jokowi yang tidak mengetahui 100 persen isi perpres yang ditandatanganinya, merupakan kesalahan yang sangat fatal dan sangat membayakan negara. Perpres memiliki efek mengikat bagi keberlangsungan bernegara. Seharusnya seorang presiden memahami seluruh dokumen yang akan ditandatanganinya.
Tindakan presiden yang main tanda tangan tanpa mengetahui materi yang ditandatanganinya membuka peluang orang-orang yang tidak bertanggung jawab untuk memanfaatkan tanda tangan presiden untuk kepentingan yang tidak benar. Dikhawatirkan, ada oknum di lingkaran presiden yang menyelipkan dokumen-dokumen yang membahayakan kepentingan negara, dokumen yang menyengsarakan rakyat atau dokumem yang hanya menguntungkan kelompok tertentu.
Oleh karena itu, untuk mengakhiri polemik ini presiden harus segera mencabut perpres tersebut. Selain itu, Presiden juga harus berhenti menyalahkan dan mempermalukan para menteri di hadapan publik. Presiden juga harus lebih cermat memahami seluruh dokumen sebelum membubuhkan tanda tangan. Dan yang terpenting, Jokowi harus mengakui kesalahannya dan harus meminta maaf kepada seluruh rakyat Indonesia.
[***]Penulis adalah Sekretaris Jenderal Himpunan Masyarakat Untuk Kemanusiaan dan Keadilan (Humanika).