Berita

WISNU AGUNG PRASETYA

Publika

Selain Investor Petani Harus Diajak Bicara

SELASA, 31 MARET 2015 | 07:15 WIB

KEPULANGAN Presiden Jokowi dari Jepang dan Tiongkok membawa Komitmen Investasi Rp 962 triliun. Komitmen yang diperoleh persis seperti pada saat di awal pemerintahan. Sebuah ulangan. Untuk jangka pendek tentu berita baik, capital inflow akan terjadi. Namun dalam jangka panjang kita tahu persoalannya.

Pertama, kita menghadapi problem implementasi. Secara teknis pembangunan infrastruktur menghadapi masalah pembebasan lahan yang hingga kini belum ada terobosan. Kedua, kalau pun dapat disegerakan, sebagian besar belanja modal belum bisa kita sediakan sendiri, artinya akan berisiko besar terhadap ruang fiskal. Ini persetujuan dari sebagian besar analis pasar.

Sementara meski tidak secara keseluruhan, sekarang kita butuh "quick win". Dibutuhkan terobosan, semisal berkaitan dengan pengadaan lahan pembangunan. Saya mendengar justru pemerintah akan menyerahkan kepada pihak ke 3 (swasta) untuk pengelolaannya. Bila benar terjadi, konflik berkelanjutan dan jauh dari solusi ditakutkan akan semakin mengemuka dan sering. Presiden Jokowi sebaiknya segera mendengar dan mendorong agenda ini agar dibicarakan pada semacam Musyawarah Petani Nasional (Peasant Summit). Dari mereka solusi juga bisa didengar, mengingat kepada mereka manfaat pembangunan ditujukan dan kepada mereka sebagian besar pemilik lahan.


Salah satunya adalah ide tentang mendorong asas manfaat dibanding asas kepemilikan. Tentu akan sulit bila lahan lahan tersebut mesti diambil alih, namun bila menggunakan skema sewa misalnya tentu jauh lebih mudah. Pemilik lahan bisa menerima biaya sewa sekaligus dividen dari setiap investasi. Tinggal mereka didorong agar mengorganisir diri dalam koperasi yang nantinya bisa bekerja layaknya BUMDesa.

Langkah ini selain mampu menjadi solusi bagi percepatan implementasi pembangunan infrastruktur, juga mampu menjadi strategi mandiri dari program perlindungan sosial. Ada pendapatan petani dari pembangunan, aset tidak hilang, dan masih bisa bekerja di sektor pertanian dengan langkah-langkah koperasinya.

Saya menduga bila pemerintah gagal mengelola isu ini, dan berkonsolidasi dengan isu kenaikan harga, juga problem struktural lainnya akan berakibat serius pada aspek psikologi politik. Market tidak suka dengan bersatunya mahasiswa, petani dan buruh, berbeda dengan sebagian besar anggota parlemen. [***]

Wisnu Agung Prasetya
Penulis adalah pemerhati pangan, tinggal di Jakarta.


Populer

Masih Sibuk di Jogja, Pimpinan KPK Belum Tahu OTT di Lampung Tengah

Selasa, 09 Desember 2025 | 14:21

Pura Jadi Latar Film Porno, Hey Bali: Respons Aparat Dingin

Selasa, 09 Desember 2025 | 21:58

Kebun Sawit Milik POSCO Lebih dari Dua Kali Luas Singapura

Senin, 08 Desember 2025 | 19:12

Mahfud MD soal Bencana Sumatera: Menyuruh Pejabat Mundur Tidak Relevan

Rabu, 10 Desember 2025 | 05:53

Cegah Penimbunan BBM

Jumat, 05 Desember 2025 | 02:00

Polri Kerahkan Kapal Wisanggeni 8005 ke Aceh

Jumat, 05 Desember 2025 | 03:03

Pesawat Perintis Bawa BBM

Jumat, 05 Desember 2025 | 05:02

UPDATE

Denny Indrayana Ingatkan Konsekuensi Putusan MKMK dalam Kasus Arsul Sani

Selasa, 16 Desember 2025 | 01:30

HAPPI Dorong Regulasi Sempadan Pantai Naik Jadi PP

Selasa, 16 Desember 2025 | 01:22

Pembentukan Raperda Penyelenggaraan Pasar Libatkan Masyarakat

Selasa, 16 Desember 2025 | 01:04

Ijazah Asli Jokowi Sama seperti Postingan Dian Sandi

Selasa, 16 Desember 2025 | 00:38

Inovasi Jadi Kunci Hadapi Masalah Narkoba

Selasa, 16 Desember 2025 | 00:12

DPR: Jangan Kasih Ruang Pelaku Ujaran Kebencian!

Selasa, 16 Desember 2025 | 00:06

Korban Meninggal Banjir Sumatera Jadi 1.030 Jiwa, 206 Hilang

Senin, 15 Desember 2025 | 23:34

Bencana Sumatera, Telaah Konstitusi dan Sustainability

Senin, 15 Desember 2025 | 23:34

PB HMI Tegaskan Putusan PTUN terkait Suhartoyo Wajib Ditaati

Senin, 15 Desember 2025 | 23:10

Yaqut Cholil Masih Saja Diagendakan Diperiksa KPK

Senin, 15 Desember 2025 | 23:07

Selengkapnya