Masalah beras urusannya tidak hanya sampai perut. Lebih jauh lagi, bisa mengancam stabilitas negara.
Sebagai salah satu komoditas terpenting dari ketahanan pangan nasional, beras secara otomatis pula menjadi penentu ketahanan dan kedaulatan negara.
Bayangkan saja jika Indonesia kehabisan beras, atau beras yang diimpor diselip racun. Urusannya jadi panjang.
Sehingga patut dijadikan soal, ketika belum lama ini beras langka di pasaran. Harga jadi mahal. Badan Urusan Logistik (Bulog) sempat jadi tertuduh. Perannya dinilai lambat dalam menstabilkan harga. Apa yang sebenarnya terjadi?
Berikut wawancara
Rakyat Merdeka dengan Direktur Utama Bulog Lenny Sugiat, di Jakarta, Jumat (27/3);
Bukankah di Bulog ada sistemmonitoring harga yang real-time ketika harga beras naik? Memang kita punya sistem itu, sehari dua kali kita kirim data tersebut ke Kemendag, Mensesneg, Seketaris Pribadi Presiden. Kita memiliki sistem monitoring, sehingga punya semua catatannya.
Nah kenapa penanganannya begitu lambat ketika harga beras naik? Karena Bulog tidak bisa menÂgeluarkan beras tanpa instruksi Pemda.
Bukan karena tidak ada stok? Stok beras ada.
Kenapa nggak disalurkan saja? Karena kalau beras itu keluar, bagaimana pertanggungjawaÂbannya. Itu atas perintah siapa. Kami bisa diaudit BPK.
Termasuk ketika harga beÂras melonjak naik? Ya, kami tidak bisa mengeÂluarkan beras kalau tidak ada Surat Perintah Alokasi (SPA) dari Pemda. Karena petunjuknya menetapkan demikian.
Kalau Bulog mengambil inisiatif dalam situasi-situasi tertentu apa juga tidak dibeÂnarkan? Kalau adik-adik saya di lapanÂgan mengeluarkan beras, itu bisa ditangkap. Karena nanti klaimÂnya kepada Pemda bagaimana, dan laporannya ke Pemda baÂgaimana. Karena nanti ujungnya akan dipertanggungjawabkan berapa realisasinya.
Batas tanggung jawab Bulog dengan Pemda sejauh maÂna? Tanggung jawab Bulog itu hanya di titik distribusi. Kalau ke titik Rumah Tangga Sasaran (RTS) itu Pemda.
Kok koordinasi antara Bulog dengan Pemda jadi lambat ya? Waktu itu ada surat edaran dari Menteri Dalam Negeri untuk dilakukan verifikasi data RTS. Kemudian diterjemahkan oleh Pemda-Pemda: Oh saya harus verifikasi dulu nih. Akibatnya Pemda tidak meminta atau tidak mengirimkan SPA kepada Bulog. Kemudian Pemda tidak siap menÂgalokasikan anggaran di APBD-nya seperti untuk pengangkutan dan sebagainya.
Sekarang bagaimana konÂdisinya? Alhamdulillah kita terus-menerus koordinasi dengan Pemda, Pemprov, Menko dan Mensos. Sekarang sudah mulai lancar. Memang perbaruan data itu perlu, karena ada pemekaran wilayah, perpindahan penduduk, dan lain-lain.
Bulog harus berkoordinasi dengan siapa lagi, khususnya soal Operasi Pasar (OP) dan penyaluran raskin? Raskin itu urusannya Mensos. Kalau Operasi Pasar Kemendag. Komandonya di sana. Kalau diÂperintahkan: Bulog lakukan OP. Komando Raskin dan komando Operasi Pasar itu beda.
Kenapa Bulog tidak bisa mengambil kebijakan sendiri saja, biar cepat? Karena Bulog hanya pada tatÂaran operator, bukan regulator.
Bukankah dulu peran Bulog lebih besar? Peran Bulog diamputasi oleh IMF sejak krismon (Krisis Moneter) tahun 1997/1998 yang tertuang dalam
letter of Inten. Itulah yang mohon maaf saat ini dimanfaatkan oleh swasta. Kemudian sejak 2003 Bulog tidak lagi di bawah Presiden, tapi di bawah Kementerian BUMN setelah berubah menjadi Perum (Perusahaan Umum). ***