Kementerian Tenaga Kerja (Kemenaker) mulai bersih-bersih di bidang pengawasan ketenagakerjaan. Antara lain meminta petugas pengawas untuk meninggalÂkan budaya sogok atau ‘86’ kepada perusahaan yang diawasinya.
Menteri Tenaga Kerja (Menaker) Muhammad Hanif Dhakiri mewanti-wanti kepada petuÂgas pengawas ketenagakerjaan untuk meninggalkan budaya meminta uang yang sudah terjadi sejak lama. Alasannya, agar penÂgawasan bisa berlangsung secara maksimal.
Berikut keterangan Muhammad Hanif Dhakiri selengkapÂnya kepada Rakyat Merdeka, kemarin:
Kenapa petugas pengawas ketenagakerjaan mendapat perhatian serius? Kami ingin perusahaan di Indonesia bisa tumbuh denÂgan sehat dan ekonomi maju. Syaratnya petugas ketenagakerjaan harus kuat, berintegriÂtas, kredibel, dan jangan mau disogok.
Praktek kongkalikong petuÂgas pengawas ketenagakerjaan sudah berlangsung lama? Kebiasaan 86 sudah berlangÂsung lama, sehingga jadi budaya. Budaya 86 ini yang membuat pengawas ketenagakerjaan kita tidak tegas. Saya minta hilanÂgkan atau tinggalkan kebiasaan jelek ini.
Apa jumlah pengawas seÂbanding dengan jumlah perusahaan yang diawasi? Jumlahnya masih sangatkurang. Ambil contoh di Kabupaten Bandung, ada 1.900 perusahaan tapi pengawasnya hanya enam orang. Bayangkan enam orang harus mengawasi banyak perusahaan. Itu baru mengawasi perusahaan, belum mengawasi soal upah, BPJS hingga pekerja anak.
Apa saja masalah yang diÂhadapi? Kami terkenda dengan minimnya petugas pengawas. Saat ini semua petugas masih berasal dari kalangan Pegawai Negeri Sipil (PNS). Ke depannya bisa juga bukan dari kalangan PNS bisa menjadi petugas pengawas ketenagakerjaan.
Masalah lainnya? Kami juga terkendala angÂgaran untuk pengawasan. Tapi bukan berarti dengan anggaran yang kurang menjadikan kami tidak inovatif dan kreatif. Kami justru semakin semangat dengan keterbatasan itu.
Kami ingin APBD juga mengalokasikan anggaran untuk meÂnambah petugas pengawasan ketenagakerjaan yang bertugas di daerah masing-masing.
Berapa idealnya jumlah petugas pengawas? Idealnya minimal 3.500 petuÂgas pengawasan di seluruh Indonesia. Tapi saat ini baru 1.500 pengawas di Indonesia, masih kurang sekitar 2.000 lagi. Insyaallah pada tahun ini akan kita tambah kekurangan, sehingga bisa memenuhi kebuÂtuhan minimal.
Dari mana saja petugas pengawasan itu? Petugas berasal dari pusat dan daerah. Kami tidak bisa semuanya mengambil dari pusat karena terbentur Undang Undang Pemerintah Daerah yang mewajibkan mengakoÂmodir petugas lokal yang berada di daerah.
Petugas lokal yang berfungsi untuk mensinergikan pengaÂwasan agar tugas mereka bisa menjadi efektif dan efisian.
Bukankah mendidik petugas pengawasan sulit, bagaimana caranya? Mendidik petugas tidak mudah. Kami harus melatih mereka seÂlama delapan bulan. Pengalaman yang lalu sudah sering kita menÂdidik pengawas ketenagakerjaan, tapi setelah terpilih bupati baru di suatu daerah, banyak tenaga pengawas yang dipindahtuÂgaskan ke tempat lain seperti ke pemakaman. Sehingga hasil pelatihan petugas pengawasan menjadi tidak nyambung.
Apa harus ada komitmen dari kepala daerah untuk tidak memindahkan petugas ketenagakerjaan? Harus ada komitmen soal itu. Kita meminta kepada kepala daerah untuk memastikan tenaga fungsional pengawasan hanya berkutat di masalah ketenagakerjaan. ***