Remisi dan pembebasan bersyarat (PB) secara normatif adalah hak bagi setiap narapidana, termasuk napi kejahatan korupsi. Dalam pemberian remisi tidak boleh ada diskriminatif karena itu tanpa alasan yang sah tidak bisa dilakukan pembatasan apalagi penghilangan hak tersebut.
Demikian disampaikan Ketua Setara Institute Hendardi menanggapi prokontra rencana Menteri Hukum dan HAM Yasonna Laoly memberi remisi terhadap narapidana korupsi. Rencana Menteri Yasonna ini menimbulkan prokontra di tengah masyarakat, kalangan yang menolak menyebut dengan rencana ini pemerintah Jokowi membela koruptor.
"Namun, remisi dan pembebasan bersyarat juga tidak bisa diobral. Itu memang hak, tapi harus diberikan melalui aturan yang sangat ketat dan standar akuntabilitas yang tinggi sehingga tidak melukai rasa keadilan," kata Hendardi ketika dihubungi wartawan, Senin (16/3).
Hendardi mengaku tidak sependapat dengan pemikiran jika muncul anggapan bahwa hak rakyat juga dirampas koruptor, maka wajar hak koruptor juga dicabut.
"Betul koruptor memiliki daya rusak tinggi, tetapi penanganannya tetap tunduk pada sistem pemidanaan dan pemasyarakatan. Bukan logika saling balas dendam," ungkapnya.
Sebelumnya, Guru Besar Hukum Pidana Universitas Gadjah Mada, Prof Eddy OS Hiariej meminta semua kalangan untuk menghormati kewenangan Menkumham ini, terutama terkait dengan seseorang yang sudah menjalani hukuman pidana. Konsep penahanan yang dilakukan kementerian hukum dan HAM adalah melakukan pembinaan, bukan pembalasan.
"Semua pihak hendaknya menghormati kewenangan Menkumham terkait penanganan pemasyarakatan ini," ujarnya dalam Seminar Nasional Pemberian Hak Remisi dan Pembebasan Bersyarat bagi Warga Binaan Pemasyarakatan Pelaku Tindak Pidana Khusus, di Universitas Kristen Indonesia (UKI) akhir minggu lalu.
Muzakir, pengamat hukum dari Universitas Islam Indonesia, Yogyakarta mengapresiasi langkah Menteri Yosanna yang mengembalikan semuanya pada UU No. 12 Tahun 1995 tentang Pemasyarakatan. Menurut dia langkah Menkumham sudah benar atau on the track dalam konteks UU Pemasyarakatan.
Dalam UU tersebut, siapapun yang telah melalui produk peradilan memiliki status yang sama sebagai anak binaan sehingga bisa mendapatkan hak untuk peringanan hukuman jika syarat-syarat dan ketentuan dipenuhi. Hak remisi tersebut tidak boleh ditangguhkan. Pasalnya, pengurangan hukuman itu berlaku sebagai penghargaan, tidak begitu saja diberikan. Artinya, jika terpidana menunjukkan perilaku tidak baik, hak tersebut bisa dicabut.
[dem]