Kinerja Kepala Kejaksaan Tinggi (Kajati) Jawa Barat Ferry Wibisono disorot. Mantan Direktur Penuntutan KPK itu dinilai bertindak diskrimantif dan arogan dengan melakukan penundaan kenaikan pangkat terhadap bawahannya.
"Saya mendapat laporan bahwa Kejati Jawa Barat Ferry Wibisono telah melakukan diskriminatif penundaan pangkat beberapa jaksa di struktural maupun fungsional," ujar aktivis 98 Bahluluddin kepada wartawan di Jakarta, Rabu (4/2).
Jika benar, katanya, tindakan Ferry melanggar Perja Nomor: PER-067/A/JA/07/2007 terdiri dari 14 kewajiban dan 8 larangan. Salah satu kewajiban Jaksa butir huruf (a). Mentaati kaidah hukum, peraturan perundang-undangan dan peraturan kedinasan yang berlaku. Larangan bagi Jaksa butir huruf (a). Menggunakan jabatan dan/atau kekuasaannya untuk kepentingan pribadi dan/atau pihak lain. Sedangkan, butir huruf (f) bertindak diskriminatif dalam bentuk apapun.
Sikap arogansi itu jelas melanggar dokrin Tri Krama Adhyaksa yaitu Satya Adhi Wicaksana dan Ketentuan 7 Tertib.â€
Sikap arogansi itu jelas melanggar dokrin Tri Krama Adhyaksa yaitu Satya Adhi Wicaksana dan Ketentuan 7 Tertib.â€
Sebagai pimpinan, katanya lagi, harusnya Ferry memberikan contoh yang baik untuk tidak melakukan diskriminasi penundaan pangkat. Jangan mentang-mentang eks Dirtut di KPK bersikap arogansi kepada bawahan. Kebijaksanaan pimpinan itu panutan bawahannya. Kini, lanjutnya, jajaran jaksa di Kejati Jawa Barat telah resah akibat ulah dan perilaku Ferry.
"Penundaan pangkat itu sebenarnya tak jadi masalah ketika sang jaksa mempunyai kesalahan di bidang displin maupun etika. Tapi penundaan pangkat yang terjadi di Kejati Jawa Barat karena faktor egoisme pimpinanya. Ini sudah tidak masuk akal," ucapnya.
Sejatinya, mutasi atau promosi pangkat seorang jaksa struktural terjadi tiap 6 bulan, sedangkan jaksa fungsional 1 tahun.
"Kami mendesak Jaksa Agung melalui Jaksa Agung Muda Bidang Pengawasan memeriksa Kajati Jawa Barat," pungkasnya.
Ditempat terpisah, Komisioner Komisi Kejaksaan RI, Kaspudin Nor mengatakan ketika pimpinan bersikap arogansi dan menunda kepangkatan bawahannya, bisa dikatakan pimpinan tersebut tidak profesional.
"Penundaan kepangkatan atas dasar faktor perseorangan ataupun pilih kasih adalah tindakan yang tidak objektif. Hal ini justru menjadikan para jaksa tidak semangat kerja. Kompetisi karir sudah tidak sehat jadinya," kata Kaspudin.
Ia menambahkan, proses mutasi ataupun promosi seorang jaksa harus berdasarkan kompetensi dan berbasis kinerja yang profesionalisme.
"Maka penempatan itu harus dilakukan melihat masa bakti kerja, di rolling. Jaksa yang dipromosikan pangkatnya harus memiliki profesionalisme. Menguasai bidang, karirnya berprestasi. Pendidikan juga penting. Tapi jika penundaan pangkat karena faktor
like and dislike, maka pimpinan tersebut tidak cakap menempati jabatan sebagai Kajati," cetusnya.
[dem]