Berita

Pertahanan

Ini Masukan Agar Pemilihan Kepala BIN Tidak Blunder

KAMIS, 22 JANUARI 2015 | 11:26 WIB | LAPORAN: ALDI GULTOM

Presiden Joko Widodo (Jokowi) seharusnya tidak mengulang kesalahan yang sama dengan saat ia memilih calon Kapolri dalam penetapan calon Kepala Badan Intelijen Negara (BIN). Sejauh ini, nama kandidat Kepala BIN masih "disembunyikan" oleh pihak Istana.

Presiden sebaiknya memilih nama calon Kepala BIN yang benar-benar bersih, terutama tidak punya catatan kasus dugaan korupsi, dan dikenal baik oleh masyarakat sipil.

UU tentang Intelijen Negara mengatur, pengangkatan dan pemberhentian Kepala dan Wakil Kepala BIN ditetapkan dengan Keputusan Presiden. Namun Kepala BIN diangkat dan diberhentikan oleh Presiden setelah mendapat pertimbangan DPR RI. Karena itu sosok yang dapat diterima DPR pun harus dipikirkan baik oleh presiden.

Terkait rencana penetapan Kepala BIN yang baru itu, Ketua Umum Bina Bangun Bangsa, Nur Ridwan, menyarankan orang-orang di lingkungan presiden bisa memberikan masukan yang baik sesuai aspek tata pemerintahan baik dan tata kenegaraan sehingga bisa meminimalisir gesekan politik.  

"Meski itu hak prerogatif presiden, orang-orang lingkungan Jokowi mesti berikan masukan positif supaya tidak blunder (kesalahan) seperti penetapan calon Kapolri," tegas Nur Ridwan kepada Kantor Berita Politik RMOL, beberapa saat lalu.

Dia juga menyarankan nama calon Kepala BIN tidak dipengaruhi lagi oleh dikotomi sipil dan militer. Menurutnya, kemampuan teknis tak hanya dimiliki tokoh militer. Lebih penting baginya presiden memilih orang yang dipercaya dan mampu membuktikan kinerja yang baik.

"Jangan lupa sejarah, bahwa sebenarnya militer lahir dari rakyat. Tidak ada lagi dikotomi. Kalau ada orang sipil yang mampu bekerja, silakan saja pilih," tegasnya.

Bursa pencalonan Kepala BIN ini juga sempat mendapat perhatian dari eksponen gerakan mahasiswa 98. Lembaga Lingkar 98 menyatakan, salah satu bidang pemerintahan yang krusial butuh perhatian sangat tinggi dari Jokowi salah satunya adalah bidang politik dan keamanan (polkam). Jabatan ini sangat strategis untuk menghadapi dan mengantisipasi gangguan terhadap agenda pemerintahan.

Dan sebagai pemimpin nasional dari sipil yang kedua di era reformasi setelah Gus Dur-Mega, Jokowi-JK harus mempertahankan spirit instansi sipil di bidang keamanan diisi oleh orang sipil yang kompeten. Bila Gus Dur-Mega merupakan presiden pertama yang membuka sejarah dengan menempatkan orang sipil pertama menjadi Menteri Pertahanan, maka spirit tersebut sebaiknya dipertahankan. Ditambah, menempatkan orang sipil pertama di era reformasi mengepalai Badan Intelijen Negara (BIN).

Kepada redaksi, Ketua Komisi I DPR RI, Mahfudz Siddiq, pernah menyatakan, selain bisa memperkokoh institusi BIN dalam fungsi operasi dan fungsi kordinasi, Kepala BIN yang baru harus juga mulai mendorong penguatan fungsi intelijen luar negeri di tengah perubahan geopolitik dan geoekonomi global, dan penguatan intelijen ekonomi. (Baca juga:  As'ad Said Ali: BIN Harus Lebih Antisipasi Serangan Ideologi dari Luar Negeri)

Walau Kepala BIN yang saat ini masih menjabat berlatar belakang militer, Mahfudz menegaskan bahwa parlemen tidak akan melihat latar belakang calon yang dikirimkan presiden. 

"Tentu saja kalau calon yang diajukan nama familiar di DPR dan hayati betul UU intelijen serta spirit dan arah pembangunan intelijen, itu akan diterima. Sekali lagi, yang penting memiliki pemahaman tentang dunia intelijen modern," katanya pada Oktober silam.

Meski begitu, penolakan nama calon dari kalangan militer pernah lantang disuarakan Komisi untuk Orang Hilang dan Korban Tindak Kekerasan (Kontras). Lembaga ini lewat ketuanya, Haris Azhar, menanggapi masuknya dua nama bekas petinggi militer yang buruk dalam catatan HAM, yaitu eks Wakil Menteri Pertahanan Letjen TNI Sjafrie Sjamsoeddin dan Ketua Umum Partai Keadilan dan Persatuan Indonesia, Letjen TNI (Purn) Sutiyoso.

"Dua-duanya punya catatan pelanggaran HAM, dan kasusnya belum selesai. Dan itu tidak baik buat bangsa ini dan tidak baik untuk keluarga korban dan tidak baik buat masa depan bangsa," terangnya.

Menurut Kontras, kasus dugaan pelanggaran HAM mereka yang paling menonjol adalah keterlibatan di Kerusuhan Mei 1998, kasus penculikan aktivis, kasus 27 Juli 1996, dan penjualan lahan di DKI Jakarta kepada pengusaha hitam.

Perbicangan redaksi dengan beberapa sumber, menyimpulkan, calon Kepala BIN yang dipilih Presiden Jokowi sebaiknya orang yang sudah lama berkecimpung di lembaga itu sendiri. Hal ini agar aparatur intelijen di BIN mudah diarahkan dan bisa memasok informasi yang betul-betul valid kalau dibutuhkan Kepala BIN dan presiden selaku pengguna informasi. Kepala BIN yang baru juga harus bisa mengubah persepsi publik akan lembaga BIN yang angker dengan melakukan sejumlah reformasi struktural.

Terkait itu, sejauh ini ada beberapa nama yang diperbincangkan untuk mengisi jabatan Kepala BIN. Yang paling santer adalah Wakil Ketua Umum Pengurus Besar Nahdlatul Ulama (PBNU) As'ad Said Ali. Sesepuh NU ini sudah terlibat dalam kegiatan intelijen di luar negeri, terutama Timur Tengah, sejak periode 1980-an dan pernah menjabat Wakil Kepala BIN selama 9 tahun.

As'ad juga sudah dipanggil Presiden Jokowi ke Istana Merdeka saat seleksi menteri-menteri kabinet berlangsung pada Oktober silam. As'ad saat itu mengaku diajak Presiden berbincang mengenai keamanan dan ketertiban serta dunia intelijen negara. [ald]

Populer

Aduan Kebohongan sebagai Gugatan Perdata

Selasa, 08 Oktober 2024 | 10:03

Pernah Bertugas di KPK, Kapolres Boyolali Jebolan Akpol 2003

Senin, 07 Oktober 2024 | 04:21

Warganet Beberkan Kejanggalan Kampus Raffi Ahmad Peroleh Gelar Doktor Kehormatan

Senin, 30 September 2024 | 05:26

Laksdya Irvansyah Dianggap Gagal Bangun Jati Diri Coast Guard

Sabtu, 05 Oktober 2024 | 03:45

PDIP Bisa Dapat 3 Menteri tapi Terhalang Chemistry Gibran

Rabu, 09 Oktober 2024 | 01:53

Bakamla Jangan Lagi Gunakan Identitas Coast Guard

Rabu, 09 Oktober 2024 | 06:46

Prabowo Sudah Kalkulasi Chemistry PDIP dengan Gibran

Rabu, 09 Oktober 2024 | 02:35

UPDATE

10 Tahun Rezim Jokowi Dapat 3 Rapor Biru, 1 Rapor Merah

Kamis, 10 Oktober 2024 | 18:05

Konflik Geopolitik Global Berpotensi Picu Kerugian Ekonomi Dunia hingga Rp227 Ribu Triliun

Kamis, 10 Oktober 2024 | 18:04

Arzeti Minta Korban Pencabulan di Panti Asuhan Darussalam Annur Dapat Pendampingan Psikologis

Kamis, 10 Oktober 2024 | 17:58

KPK Sita Agunan dan Sertifikat dalam Kasus Korupsi BPR Bank Jepara Artha

Kamis, 10 Oktober 2024 | 17:42

Gerindra Bakal Bangun Oposisi untuk Kontrol Parpol Koalisi?

Kamis, 10 Oktober 2024 | 17:28

Imigrasi Tangkap Buronan Interpol Asal China di Bali

Kamis, 10 Oktober 2024 | 17:28

Hari Ini, Andi Arief Terbang ke India untuk Transplantasi Hati

Kamis, 10 Oktober 2024 | 17:23

Prabowo Hadiri Forum Sinergitas Legislator PKB, Diteriaki "Presiden Kita Berkah"

Kamis, 10 Oktober 2024 | 17:11

Akomodir Menteri Jokowi, Prabowo Ingin Transisi Tanpa Gejolak

Kamis, 10 Oktober 2024 | 16:59

Prabowo Tak Akan Frontal Geser Jokowi

Kamis, 10 Oktober 2024 | 16:44

Selengkapnya