SEBETULNYA ada harapan besar terhadap penguatan rupiah saat Jokowi dilantik menjadi Presiden. Sayang momentum tersebut sirna seiring dengan terjadinya bargaining bagi-bagi kursi kabinet. Pasar makin kehilangan kepercayaanya saat mengetahui personil Tim Ekonomi bukanlah figur-figur terbaik dan bahkan jauh dari harapan.
Kini rupiah terjun bebas ke level Rp 13.000 per dolar AS. Bahkan banyak yang memprediksi loyonya rupiah akan terus berlanjut ke level Rp. 16.000 per dolar AS.
Situasi ini mestinya menjadikan Tim Ekonomi segera membunyikan lonceng bahaya dan melakukan tindakan-tindakan pencegahan. Tapi sayang, yang terjadi sebaliknya. Tim Ekonomi seolah tidak memahami permasalahan yang dihadapi.
Hal tersebut dapat dilihat dari beberapa pernyataan Menko Perekonomian Sofyan Djalil, seperti bahwa merosotnya rupiah diikuti merosotnya mata uang regional karena dolar pulang kampung, ternyata salah besar karena dolar tidak mampu menggoyahkan nilai mata uang India Rupee.
Atau pernyataan merosotnya rupiah akibat warisan pemerintahan sebelumnya pun juga tidak tepat, karena pemerintahan sebelumnya meninggalkan pertumbuhan ekonomi terbesar ketiga di dunia.
Dan pernyataan rupiah melemah menguntungkan ekspor, juga seakan menutup mata bahwa harga komoditas yang diekspor juga merosot tajam seiring dengan menurunnya harga minyak dunia.
Dengan ketiga fakta di atas membuktikan bahwa Tim Ekonomi gagal memahami fenomena merosotnya nilai rupiah. Tim Ekonomi mestinya membuka mata bahwa anjloknya rupiah terjadi setelah kebijakan menaikkan BBM.
Fundamental ekonomi yang sudah bagus dengan mudahnya dihancurkan oleh kenaikan BBM yang terlalu tinggi. keadaan makin parah karena inflasi yang mengikutinya ternyata di luar ekspektasi.
Oleh karena itu, untuk menyelamatkan ekonomi Indonesia, Jokowi harus segera mengganti Tim Ekonomi. Jokowi harus bertindak sebagai presiden sejati yang memiliki hak prerogratif memilih menteri tanpa intervensi siapa pun.
[***]