Perpecahan di tubuh Golkar memiliki kaitan erat dengan kekacauan akibat sistem presidensial multi partai. Kebutuhan akan partai pendukung di parlemen cukup tinggi dalam sistem campuran itu.
Akibatnya, pemerintah yang tidak didukung oleh bagian terbesar dalam parlemen terdorong melakukan upaya ekstra untuk merebut partai lawan.
Hal ini, menurut pendiri Lingkaran Survei Indonesia (LSI) Denny JA dalam kultwit panjang yang disampaikannya kemarin (Rabu. 26/11), menjadi semacam kudeta.
Umumnya sistem presidensial akan kokoh bila hanya ada dua partai, seperti yang terjadi di Amerika Serikat. Dengan dua partai, lebih mudah bagi presiden untuk melakukan kesepakatan dengan Parlemen. Apalagi jika partai presiden juga menguasai parlemen.
Sementara, sistem multi partai kerap kali membuat partai pemerintah menjadi partai minoritas di Parlemen. Akibatnya, terlalu banyak partai yang harus diajak bernegosiasi, dibujuk, dan dimanjakan, oleh Presiden agar lolos dari pertarungan kebijakan di Parlemen.
"Jika demokrasinya sudah matang seperti di AS, walau parlemen (kongres) dikuasi partai lawan, negosiasi rasional mudah dilakukan. Namun jika demokrasinya masih lemah seperti di Indonesia, negosiasi dengan parlemen banyak diwarnai politik balas dendam," ujar Denny JA.
Denny JA mengatakan, pemerintahan SBY selama dua periode juga terpaksa menjalin koalisi dengan sebanyak mungkin kekuatan di Parlemen. Hanya dengan demikian, SBY tidak menghadapi Parlemen yang
hostile.
Sementara Presiden Joko Widodo yang sedang berkuasa terlambat menyadari hal ini.
"Ia diromantisir oleh (pandangan) koalisi partai yang ramping, yang justru membuatnya minoritas di Parlemen," sambung Denny JA.
Contohnya, ganguan interpelasi DPR soal kenaikan harga BBM yang didukung kelompok rakyat yang tak suka harga BBM naik, segera merepotkan Jokowi.
Sementara, ketika Jokowi sadar, dia sudah terlambat karena kubu oposisi di Parlemen sudah solid dan menguasai mayoritas serta selalu mengalahkan Presiden dalam voting.
"Pecahnya Golkar adalah serpihan dari politik makro di atas. Politisi di Golkar yang kecewa mendapatkan insentif untuk membantu Jokowi dengan merebut kepemimpinan Golkar dari ARB. Itu jalan pintas melemahkan KMP yang mayoritas di Parlemen," ujar Denny JA lagi.
Akhirnya, Golkar pun menjadi "gula-gula" yang bisa langsung mengubah posisi Jokowi, dari minoritas menjadi mayoritas di Parlemen.
[dem]