KENAIKAN harga BBM tinggal menunggu waktu saja. Pemerintahan Joko Widodo-Jusuf Kalla tetap ngotot menaikkan harga BBM meskipun kritik datang dari delapan penjuru mata angin. Tim Ekonomi Jokowi-JK tidak menggubris pendapat pihak lain. Juga tidak mempedulikan harga minyak dunia yang terus melorot.
Rupanya menaikkan harga BBM sudah menjadi harga mati, seakan Tim Ekonomi Jokowi-JK berjalan bak memakai kaca mata kuda. Percuma diberi masukan, karena pasti tidak dihiraukan.
Padahal banyak tokoh dan pengamat ekonomi yang memiliki pemikiran yang brilian tanpa harus menyengsarakan rakyat. Tidak perlu buru-buru menempuh jalan pintas menaikkan BBM. Masih banyak jalan dan alternatif lain yang bisa dilaksanakan.
Ekonom senior DR. Rizal Ramli misalnya berpendapat, kenaikan harga BBM tidak adil karena saat ini harga minyak mentah dunia turun dari 110 dolar AS per barel menjadi 80 dolar AS per barrel.
Kenaikan harga BBM hanya berdampak kecil terhadap defisit transaksi berjalan, dan ada cara-cara yang lebih cerdas dari sekadar menaikkan harga BMM. Menurut dia salah satunya lewat kebijakan subsidi silang BBM yang bisa menghemat uang negara Rp40 triliun.
Dengan subsidi silang pemerintah bisa mempertahankan harga BBM jenis premium namun kandungan oktan diturunkan karena premium di Indonesia terlalu "mewah" dimana kandungan oktan mencapai 88 atau jauh lebih tinggi dibandingkan jenis serupa di Amerika Serikat sekali pun yang oktannya hanya 86. Menurut Rizal Ramli, cara ini sekaligus bisa menurunkan konsumsi BBM subsidi sekitar 40 persen karena pemilik mobil mewah yang biasa ikut "menyedot" BBM subsidi takut mobilnya rusak.
Sayangnya, tim ekonomi Jokowi-JK sangat tidak mempedulikan dampak kenaikkan harga BBM. Dikira dengan memberi tiga kartu bisa meredam kesengsaraan rakyat. Dikira rakyat bisa dibohongi bahwa kenaikan BBM terpaksa dilakukan karena Jokowi harus melaksanakan janji kampanye untuk memberi rakyat tiga kartu itu.
Padahal bila diamati secara mendalam kebijakan Jokowi-JK, hampir tidak ada yang baru. Semuanya mirip-mirip kebijakan SBY, hanya berganti nama saja.
Bila di zaman SBY ada dana BOS, di era Jokowi diganti KIP. Jamkesmas diganti KIS. Dan BLT diganti dengan KKS. Karena tidak ada program yang benar-benar baru, mestinya Jokowi memakai dana yang ada saja. Toh, dananya sudah tersedia, tinggal memakai saja. Kalau pun namanya mau diganti silahkan saja.
Jadi, Tim Ekonomi harus lah lebih kreatif. Sudah saatnya menanggalkan kaca mata kuda. Lihatlah kondisi sekitar dan dengarkanlah pendapat-pendapat yang pro rakyat. Tugas tim ekonomi adalah menyejahterakan rakyat, bukan menyengsarakan rakyat. Jika masih tetap ngotot menaikkan BBM, patut dicurigai ada penumpang gelap yang ingin mendulang keuntungan.
[***] Penulis adalah Sekretaris Jenderal Himpunan Masyarakat Untuk Kemanusiaan dan Keadilan (HUMANIKA)