SEBAGAI sebuah mazhab, neoliberalisme salah satunya berintikan pada pengetatan (austerity) pada anggaran negara- termasuk di Indonesia. Pos-pos yang dianggap kurang produktif, seperti berbagai subsidi -termasuk energi- harus dipangkas. Namun, utang terhadap kapital uang puluhan triliun rupiah-meskipun kadang dikorup bankir dan pejabat setempat- tidak boleh telat dibayar oleh rakyat.
Pembayaran cost recovery puluhan triliun rupiah juga harus terus meningkat, kalau perlu sampai 2-3 kali lipat dari sebelum-sebelumnya- tapi penemuan dan produksi lapangan migas terus menurun. Rente dalam sisi hulu pengadaan minyak mentah dan BBM juga tidak kunjung dapat dibongkar hukum dan media di Indonesia, yang merugikan puluhan triliun rupiah. Selain itu adalah tentang pengadaan genset diesel dari China yang menguras subsidi solar dari APBN seratusan triliun rupiah setiap tahun. Semuanya adalah masalah yang disisakan rezim neoliberalisme-kroni SBY kepada Jokowi.
Di sini, rakyat dipaksa untuk mengejar pendapatan negara lain yang lebih maju (?), kalau tidak akan dituduh malas oleh pejabatnya. Menuduh rakyat miskin sebagai pemalas adalah khas kaum konservatif yang dalam ideologi dunia diwakili oleh Tatcherisme dan Reaganisme (dekat dengan Fasisme), bahaya bila Jokowi terjangkit paham ini. Untuk memaksa rakyat menjadi lebih rajin, negara menggunakan instrumen harga, salah satunya adalah soal BBM. Memang ada benarnya.
Di negara-negara yang terkaya di dunia seperti Norwegia, berdasarkan berbagai indeks kesejahteraan, harga BBM dapat tembus Rp20 ribu rupiah. Jadi selain menyesuaikan dengan harga pasar, terdapat pengenaan biaya tambahan untuk lingkungan hidup dan berbagai instrumen pajak lainnya dalam politik harga BBM negara zona Skandinavia tersebut. Pun, di negara bangsa Viking tersebut, tentu saja dengan sebelumnya menyediakan fasilitas transportasi massal yang memadai. Jadi, kembali ke situasi Indonesia, jangan disuruh rakyat kita bayar BBM lebih tinggi, tapi sistem transportasi massal tidak memadai secara nasional.
Itu namanya penyiksaan, Pak.
Jangan terus yang diuntungkan adalah korporasi otomotif asing (Astra, dll), sehingga defisit transaksi berjalan kita terus membesar. Apalagi belum ada tanda-tanda Jokowi akan menkonkretkan program mobil dan motor nasional seperti Esemka.
Jika Pak Jokowi hendak coba blusukan ke supir-supir angkot di jabodetabek, mereka sangat tersiksa dengan pemasukan yang terus menurun karena semakin banyak penumpang mereka yang naik motor.
Sementara jalanan semakin macet, karena motor semakin banyak. Kini, saat BBM dinaikkan, maka rakyat yang akan menderita dapat dipastikan adalah 3 juta lebih supir angkot. Kemudian baru para pengguna motor dan ojek yang mencapai 86 juta. Produktivitas nelayan tradisional yang jumlahnya 2,2 juta juga akan jatuh karena biaya produksi mereka meningkat akibat harga solar meroket. Cobalah blusukan ke rakyat yang paling tertindas, yang tidak punya pilihan lain selain menggunakan BBM untuk aktivitas subsisten mereka.
Memang terdapat kesalahan alokasi subsidi BBM, terutama untuk puluhan juta unit mobil dan kendaraan mewah lainnya. Menurut pemerintah kelompok ini mengkonsumsi hingga 70% kuota BBM, cukup rasional. Tapi 30% sisanya, supir angkot, motor, ojek, odong-odong, nelayan tradisional, pedagang kaki lima keliling, yang menjadi konsumennya harus diselamatkan. Bagaimana caranya? Tentu harus dengan berpikir, berusaha lebih keras demi rakyat terutama kelas bawah. Untuk ini dapat menggunakan formula yang diusulkan DR Rizal Ramli, ekonom kerakyatan penasehat ahli PBB, yaitu tentang subsidi silang dan penurunan Oktan. Alhasil, bukannya harus mensubsidi dua ratusan trilyun, negara malah akan mendapat untung seratusan triliun (terdapat perbesaran ruang fiskal hingga tiga ratusan triliun rupiah).
Program-program Jokowi seperti tri (tiga) kartu yang sakti, KIP, KIS, dan KKS, memang sesuai dengan amanat Konstitusi pasal 28, 31, dan 34 UUD 1945. Namun, Pasal 33 UUD 1945 adalah yang spesifik, karena mengatur tentang pemanfaatan sumber daya alam, secara berkeadilan sepenuh-penuhnya untuk rakyat. Dalam kasus BBM, UU yang menjadi landasannya yaitu UU Migas 2001 berkali-kali dipreteli dan dibatalkan oleh Mahkamah Konstitusi- termasuk tentang politik harganya.
Ditetapkan kemudian bahwa segala macam upaya yang berusaha menaikkan harga BBM sesuai harga pasar adalah tindakan yang melanggar Konstitusi, Pasal 33 UUD 1945.
Jadi sudah benar bila program tri kartu sakti (KIP,KIS,KKS) tidak melanggar Konstitusi, namun mencabut subsidi BBM belum tentu. Peluang dari para oposan Jokowi untuk memanfaatkan isu kenaikan BBM lewati harga pasar ini untuk pemakzulan cukup besar.
Sekarang tinggal kepada Pak Jokowi saja. Hendak berpihak kepada siapa (seperti yang ditanyakan WS Rendra pada puisi "Sajak untuk Mahasiswa"), gampang saja. Jika tidak mau berpikir keras, bersedia "digendong ke mana-mana" oleh para menteri neoliberal dan bermasalah KKN (bahkan kabarnya beberapa menteri Jokowi sebenarnya calon penghuni sel KPK) di kabinetnya, ya silahkan saja berdiri di barisan mereka. Kami akan tetap berdiri bersama rakyat di sisi seberangnya secara diametral, bersama seluruh gerakan rakyat yang anti neoliberal dan anti KKN.
Padahal bila Pak Jokowi sadar diri (tesis ini pun pernah dikemukakan banyak pihak), bukan tidak berhubungan bila dikatakan bahwa lesatan pamor politik Jokowi pada 2012 terjadi bersamaan dengan demonstrasi besar gerakan rakyat dan mahasiswa anti neolib dan anti KKN yang sedang melawan SBY.
[***]