ilustrasi, Impor Non Migas
Kebutuhan bahan baku dan penolong bagi industri pengoÂlahan non migas sulit dipenuhi dari dalam negeri. Hambatan utaÂma terkait perpajakan, keterÂsediaan infrastruktur dan peÂnguasaan teknologi. ,
Kepala Badan Pengkajian KeÂbijakan, Iklim dan Mutu InÂdustri (BPKIMI) Kementerian PerÂinÂdustrian (Kemenperin) ArryanÂto SaÂgala mengatakan, secara umum ada tiga hal yang mengÂganÂjal perkembangan industri penÂdukung di dalam negeri.
“Industri pendukung harus dikembangkan mulai dari perÂpajakan, infrastruktur dan baÂgaiÂmana memancing alih tekÂnoÂlogi,†kata dia.
Misalnya soal pajak, kata ArrÂyanÂto, di mana industri galÂaÂngan kapal meminta penghaÂpuÂsan pajak pertambahan nilai (PPN) dan bea masuk impor komÂponen kapal 15 persen. KaÂlau perlu perpajakan ini dihapus sampai ke industri komponen tier pertama.
Kemenperin mencatat, terdapat 86 barang yang impornya perlu dipantau lantaran memiliki keÂcenÂderungan pertumbuhan voÂluÂme di atas 30 persen dengan nilai leÂbih dari 10 juta dolar AS.
Sementara produsen furnitur mebel dan kerajinan menyatakan 12 persen kebutuhan barang penunjang masih impor. Seperti cat untuk finishing, bahan kulit perÂmukaan sofa, engsel dan komÂponen lain. Pasalnya harga komÂpoÂnen impor lebih murah dariÂpada produk lokal.
Berbeda dengan galangan kaÂpal dan furnitur, industri otoÂmotif dan elektronik bisa memÂperoleh suplai komponen dari daÂlam negeri. Tapi komponen utama proÂduk bersangkutan tetap diÂkuasai produsen.
Dirjen Industri Unggulan BerÂbasis Teknologi Tinggi KeÂmenÂperin Budi Darmadi menyaÂtakan, saat ini bahan baku yang baru bisa dipenuhi dari dalam negeri adalah bahan baku plastik untuk produk elektronik. Tapi komÂpoÂnen utama serupa chipÂset tetap diÂsuplai dari produsen.
Sementara untuk kendaraan bermotor pada umumnya mesin teÂtap dibeli dari luar negeri.
“Sebetulnya juga ada peruÂbahan pola produksi industri seÂjalan dengan perdagangan beÂÂbas, tak semua bisa diproÂdukÂsi daÂlam negeri. Ada sistem saÂling paÂsÂok antar negara,†kaÂta Budi. ***