Pimpinan Komisi Pemberantasan Korupsi telah membantah mengeluarkan surat perintah penyidikan (sprindik) atas nama Ketua DPR, Setya Novanto. Meski begitu, KPK hendaknya berkaca dan mawas diri dengan beredarnya sprindik palsu tersebut.
"KPK adalah lembaga penegak hukum, jangan sampai terjebak dalam arus politik," terang pengamat hukum dari The Indonesian Reform, Martimus Amin, (Selasa, 7/10).
Sebab, sambung Martimus, acap kali komisoner KPK mengomentari soal politik, sesuatu yang bukan domainnya. Misalnya, Ketua KPK Abraham Samad yang mengaku kecewa atas pemilihan Setya Novanto sebagai ketua DPR RI. Kegenitan Abraham Samad itulah yang dikuatirkan dimanfaatkan oleh kelompok tertentu dengan menyebarkan sprindik palsu atas nama Setya Novanto.
"Sebelumnya ramai diberitakan tekanan politik KPK dan sprindik bocor Anas urbaningrum. Juga isu pencapreskan Abraham Samad pada Pilpres lalu," tandasnya.
Menurutnya, karena kejadian banyak pihak meragukan independensi dan profesionalisme KPK dalam menjalankan tugasnya. Bahkan sampai ada yang mengingatkan pimpinan KPK bukan sebagai pengamat politik.
Makanya tak heran juga, menjadikan sepak terjang pimpinan KPK kontra produktif dan menimbulkan antipati publik. Padahal, dengan kewenangan dan anggarannya yang sangat besar, seharusnya KPK mampu memainkan peran staregisnya mencegah dan menindak kejahatan korupsi.
"Tetapi, kenyataannya kasus diungkap KPK masih urusan kecil-kecil saja. Dari gubernur, bupati, walikota yang digrebek menerima suap sampai ketum parpol yang memberangkatkan anggota masyarakat naik haji dengan anggaran biaya dinas (haji Abidin)," ungkapnya.
Sejauh ini, pengungkapan kasus oleh KPK itu miris sekaligus menggelikan. Masih kelas teri. Ikan besarnya seperti mafia Istana, BLBI, Century, kasus Hambalang tidak tersentuh sampai saat ini. "Kinerja tindak pencegahan pun tidak mempunyai efek, kejahatan korupsi semakin hebat. Ironisnya KPK malah menikmati iklim korupsi sebagai akrobat politik," tandasnya.
[zul]