Masyarakat Indonesia yang tinggal di pemukiman kuÂmuh berkategori ringan sampai berat masih sangat tinggi. MeÂreka tersebar di 3.201 kaÂwasan kumuh dan tersebar di 415 kaÂbupaten/kota di seluruh InÂdoÂnesia. Kebanyakan ada di daeÂrah metropolitan.
“Jumlahnya cukup banyak. Hingga Agustus 2014 saja terÂdapat 34,4 juta jiwa masyarakat yang masih tinggal di kawasan kumuh. Tapi kita harus optimis bisa kita atasi di 2019,†kata Menteri Pekerjaan Umum (PU) Djoko Kirmanto.
Dia mengakui, pemerintah tidak bisa bekerja sendiri meÂngÂurai pemukiman kumuh. Perlu dukungan semua pihak agar pemukiman kumuh tersisa nol persen di 2019.
“Kita salah satu stakeholder yang ikut selesaikan masalah peÂmuÂkiman kumuh. Harus ada keÂterlibatan Kementerian PeruÂmaÂhan Rakyat, Bappenas, KeÂmenÂterian Lingkungan Hidup. Kita puÂnya program bersama,†jelasnya.
Namun, Djoko mengungÂkapkan, peran pemerintah saja tidak cukup. Semua elemen MaÂsyarakat juga harus diikutkan.
Selain itu, untuk mengurai peÂmukiman kumuh harus diÂmulai dari masyarakat yang tingÂgal, kemudian dilakukan peÂnataan kawasan atau lingÂkungan. Langkah terakhir adaÂlah memberi perbaikan ekoÂnoÂmi atau membuka kesempatan usaha bagi masyarakat yang tinggal di kawasan.
“Pertama, manusianya disaÂdarkan dulu, baru lingkungan diperbaiki, terus kalau ekonomi nggak cukup dia akan kumuh lagi. Karena itu kita harus serÂtakan masyarakat,†ucapnya.
Dia berharap, lahir ide-ide kreatif dari ahli tata kota dalam dan luar negeri serta masyaÂrakat pemerhati lingkungan hingga kepala daerah yang terbukti sukses menata kotanya.
Dirjen Cipta Karya KemenÂterian PU Imam S Ernawi meÂnerangkan, ada kriteria pemuÂkiman dikatakan kumuh, di antaranya kondisi bangunan, aksebilitias kawasan, drainase, layanan air minum, air limbah, pengelolaan persampahan dan pengamanan kebakaran.
Imam menyebut, kriteria itu melekat pada rumah kumuh yang sebagian besar tersebar di kota-kota metropolitan. “Yang terbanyak di kota metro seperti Jakarta, Medan, Palembang dan Surabaya,†ujarnya.
Menurut dia, setidaknya dibutuhkan dana hingga Rp 200 triliun untuk menghapus kawasan kumuh.
Imam menyebut, dana sebeÂsar itu tidak akan cukup bila hanya mengandalkan anggaran pemerintah pusat. Butuh dukungan pihak lain seperti pemerintah daerah, perusahaan nasional dan daerah, swasta hingga masyarakat.
“Anggaran pemerintah pusat sepertiga dari itu. Sementara dua per tiga dari Anggaran PenÂdaÂpaÂtan dan Belanja Daerah (APBD), Badan Usaha Milik Daerah (BUMD), Badan Usaha Milik Negara (BUMN),†sebutnya.
Untuk itu, pihaknya akan membangun infrastruktur peÂnunjang pemukiman untuk membantu menghapus pemuÂkiman kumuh. Sisanya, bisa didukung kementerian terkait hingga bantuan dari BUMN dan sektor swasta.
Ketua DPP Asosiasi PeÂngemÂbang Perumahan dan PemuÂkiman Seluruh Indonesia (AperÂsi) Eddy Ganefo mengaÂtakan, tumbuhnya kawasan kumuh akibat ketidakberdaÂyaan pemeÂrintah mengemban tanggung jawab memenuhi hunian yang layak bagi rakyatnya. ***