Pemerintah perlu mengubah paradigma ketahanan pangan yang sudah dilakukan bertahun-tahun. Sebab, paradigma lama yang hanya fokus pada swasemÂbada beras ternyata tak berhasil menekan jumlah penderita gizi buruk di dalam negeri.
“Capaian ketahanan pangan selama ini belum berdampak pada kondisi ketahanan jasmani maÂsyarakat,†kata Peneliti UtaÂma PuÂsat Analisis Sosial EkoÂnomi dan Kebijakan PerÂtanian (PSEKP) KeÂmenterian PerÂtanian (KeÂmentan) Achmad Suryana.
Menurut dia, pemerintah meÂmang berhasil menggenjot proÂduksi beras untuk mengimbangi perÂtumbuhan jumlah penduduk. Namun, keberhasilan itu tak menular ke produksi tanaman pangan lainnya.
Dia menilai, hambatan ketahaÂnan pangan ada pada masalah distribusi dan daya beli. “KeberÂhasilan di padi tidak tertolong dengan kenaikan produksi tanaÂman pangan sekunder, kecuali jagung,†ujarnya.
Achmad mengungkapkan, ada data historis yang menunjukkan kesuksesan pemerintah meningÂkatkan produksi beras. Dimulai pada masa kolonial Belanda, teÂpatnya 1931, produksi beras naÂsional 3,5 juta ton. Itu mencakup ketersediaan beras 58,4 kilogram (kg) per kapita.
Pada Orde Lama, kata dia, keÂcukupan beras naik menjadi 12 kg per kapita ketika penduduk sudah berjumlah 77 juta jiwa.
“Pemerintah Orde Baru melanÂjutkan keberhasilan dengan meÂningkatkan kecukupan beras menjadi sebesar 164 kg per kaÂpita,†tuturnya.
Belum selesai sampai di situ, lanjut Achmad, ketersediaan beras terus melonjak hingga mencapai 285 kg per kapita dalam 12 tahun terakhir pasca reformasi. Kecuali jagung, fenomena peningkatan produksi tak terjadi pada komoÂditas pangan pokok lain.
Dalam 12 tahun terakhir, proÂduksi jagung meningkat dari 9,6 juta ton menjadi 18 juta ton. “Tapi kita lihat kedelai anjlok menjadi 3,1 kg per kapita, produksi cuma 780 ribu ton. Demikian pula ubi tanah dan ubi kayu,†ungkap dia.
Dampaknya, program ketahaÂnan pangan yang dicanangkan sejak 2002 tidak berhasil memÂperÂbaiki gizi masyarakat. Data 2011-2013 menunjukkan jumlah penderita gizi buruk dan kurang gizi masih di level 5 persen dan 11,9 persen.
“Kemudian, 35 persen anak di bawah lima tahun menderita kekurangan gizi. Rendahnya kualitas gizi masyarakat pada gilirannya bakal menyulitkan pemerintah untuk memutus rantai kemiskinan,†tuturnya.
Staf Ahli Menteri Pertanian Pantjar Simatupang menambahÂkan, total surplus beras 2011-2013 mencapai 26 juta ton. NaÂmun, itu tidak berhasil menguÂrangi jumlah penderita gizi buruk.
“Kita terperangkap paradoks. MeÂlimpah, tapi ada kelaparan terÂsembunyi, konsumsi energi dan proÂtein tidak mencukupi,†ceÂtusnya.
Untuk itu, kata dia, perlu ada perubahan paradigma ketahanan pangan. Pemerintah harus meÂmikirkan diversifikasi dan kemudahan akses pangan.
“Agendanya bagaimana kita fokus membuka akses pangan keÂpada yang berhak dan produksi biÂsa berimbang,†kata Pantjar. ***