Masyarakat Ekonomi ASEAN (MEA)
Pemerintah mengaku angkat tangan untuk memÂbangun infrastruktur listrik dalam negeri karena minimnya anggaran. Krisis listrik pun masih menghantui.
“Per tahun kita perlu bangkitkan 10 ribu megawatt (MW). Kita perÂlu dana tidak sedikit, dari maÂna dananya kalau tidak dari swasÂta,†kata Wakil Menteri Energi dan Sumber Daya Mineral (WaÂmen ESDM) Susilo SiswouÂtomo saat membuka Pameran KelisÂtrikan di Jakarta, kemarin.
Menurut dia, pemerintah pada 2025 menargetkan memproduksi listrik sebesar 125 ribu MW. Jika dibanding saat ini, target tersebut masih sangat jauh. Saat ini, proÂduksi listrik yang dimiliki InÂdonesia hanya 50 ribu MW.
Susilo mengaku, salah satu kenÂdala pengembangan infraÂstrukÂtur listrik adalah minimnya keuangan PT PLN. Dalam satu taÂhun anggaran investasi PLN haÂnya Rp 50 triliun, sedangkan unÂtuk membiayai target 10 ribu MW per tahun membutuhkan investasi Rp 200 triliun.
Dia mengatakan, pemÂbaÂngunan pembangkit listrik wajib dilakuÂkan mulai saat ini. Jika tiÂdak, tarÂget terÂsebut hanya jadi renÂcana dan waÂcana alias omÂdo (omong doang). “Kalau tiÂdak disediakan dari sekaÂrang ya omÂdo dan NATO (
not action talk only),†ujarnya.
Susilo menegaskan, pembaÂngunan pembangkit listrik deÂngan daya sebesar itu mau tidak mau harus dilakukan agar tidak terjadi krisis listrik. Ia khawatir, jika target tersebut tidak tereaÂlisasi, rencana Indonesia menjadi negara terbesar keenam pada 2030 sulit tercapai.
“Peran swasta sangat penting. Kalau tidak, dari mana PLN. JaÂngan sampailah rencana kita menÂjadi negara keenam terkuat di 2030 tidak jadi,†ujarnya cemas.
Susilo mengungkapkan, energi listrik masih hanya terfokus di pulau-pulau besar seperti Jawa, SuÂmatera, Kalimantan dan SulaÂwesi. Sementara di pulau-pulau kecil, masih banyak masyarakat yang belum menikmati listrik.
Menurut Susilo, rasio elekÂtrifiÂkasi baru 85 persen. Khusus PaÂpua, baru 40 persen yang sudah meÂnikmati listrik. Ketimpangan ini bisa diatasi jika swasta berÂgerak melistriki daerah-daerah yang belum dijamah pemerintah.
Sebab itu, pemerintah akan memÂÂbuat regulasi untuk memÂperÂmudah dan menghapuskan hamÂbatan inÂvestasi. Namun, penyeÂdiÂaan pemÂbangkit akan menganÂdalÂkan bahan bakar batubara dan gas.
Pasalnya, dia khawatir operaÂtor-operator kelistrikan di IndoÂnesia dikuasai asing saat diberÂlakukannya
ASEAN Economic Community atau Masyarakat Ekonomi ASEAN (MEA).
“Saya terus terang tidak rela jika para operator listrik itu orang asing, listrik dikuasai asing,†tegasnya.
Dengan diberlakukannya MEA, maka para pekerja maupun perusahaan operator listrik dari bebagai negara ASEAN akan muÂdah masuk ke Indonesia. Jika tidak ada kesiapan dari operator listrik di dalam negeri, maka InÂdonesia akan dikuasai operator listrik negara lain.
Direktur Operasi Jawa, Bali dan Sumatera PLN Ngurah Adnyana mengatakan, dana Rp 50 triliun diharapkan dapat meÂnyambung minimal 3 juta samÂbungan baru. Jadi, pada 2020 seÂluruh masyarakat Indonesia suÂdah bisa menikmati listrik.
“Tahun lalu kita berhasil paÂsang 4,2 juta sambungan listrik. Rata-rata tiap tahun harus terÂsambung minimal 3 juta sambuÂngÂan. Selama 3 tahun terakhir elektrifikasi kita meningkat 13 persen, Desember 2013 elektrifiÂkasi nasional sudah mencapai 80 persen,†beber Ngurah.
Direktur Energy Watch Mamit Setiawan mengatakan, perlunya program percepatan pembaÂnguÂnan infrastruktur listrik naÂsional. Apalagi, banyak daerah yang belum teraliri listrik.
Namun, dia mengakui, kendala untuk merealisasikan program 10 ribu MW itu adalah biaya inÂvesÂtasi yang sangat besar dan lahan yang cukup luas. Program itu juga harus memperhitungkan energi apa yang akan digunakan untuk mengÂgerakkan pembangkit listrik.
“Kalau ini memang sudah menjadi program dari APBN haÂrus segera dicari solusinya. BerÂdasarkan data kita, pada tahun 2020 akan terjadi krisis listrik,†ucap Mamit. ***