Presiden SBY menegaskan, karena kontribusi terbesar emisi Indonesia berasal dari penggunaan lahan dan sektor kehutanan, maka perang melawan perubahan iklim juga dimulai dari kedua sektor tersebut.
Presiden menjelaskan hal ini saat memimpin Pleno 2 KTT Iklim PBB di Markas PBB, New York, Amerika Serikat, Selasa (23/9) siang waktu setempat atau Rabu (24/9) dini hari di Indonesia.
Makanya, kata Presiden, terkait hal ini, pada tahun 2011 dirinya mengeluarkan moratorium izin pemanfaatan hutan dan konversi baru untuk melindungi lebih dari 63 juta hektar hutan primer di Indonesia dan lahan gambut.
Segmen ini membahas masalah kehutanan, dengan menampilkan sejumlah pemangku kepentingan menyampaikan pandangan dan berbagi pengalaman dalam melakukan inisiatif dan aksi konkret dalam upaya pengendalian perubahan iklim di sektor kehutanan. Presiden SBY memimpin segmen ini bersama PM Norwegia Erna Solberg.
Langkah moratorium tersebut merupakan satu diantara empat kisah sukses Indonesia dalam pengendalian perubahan iklim yang disampaikan oleh Presiden SBY.
Melalui moratorium, lanjut SBY, tingkat pengurangan deforestasi dan degradasi hutan tarif di Indonesia mengalami kemajuan yang menggembirakann. "Tahun lalu, saya memperpanjang kebijakan moratorium hingga 2015 ini dengan dukungan dari Pemerintah Norwegia. Ini telah menjadi contoh kemitraan internasional yang baik,†SBY menambahkan, seperti dilansir situs resmi Presiden.
Kedua, moratorium juga melahirkan Inisiatif Satu Peta, yaitu penciptaan pemetaan hutan yang akurat untuk konservasi dan pemanfaatan lahan yang berkelanjutan. "Melalui inisiatif ini, kami akan memiliki peta konsolidasi yang dapat membantu menyelesaikan klaim-klaim atas tanah dan mengurangi deforestasi," Presiden SBY menjelaskan.
Ketiga, dalam rangka memperkuat pengembangan dan penerapan tata kelola kehutanan secara efektif, Presiden SBY pada September 2013 lalu meresmikan pembentukan Badan Nasional Pengelolaan REDD+. Badan ini menyatukan beberapa kementerian untuk mengambil langkah terintegrasi dan usaha lintas sektor dalam mengurangi emisi gas rumah kaca dari sektor kehutanan dan penggunaan lahan.
Keempat, Indonesia telah mengembangkan sistem perlindungan yang komprehensif untuk mencegah kemungkinan eksternalitas lingkungan dan sosial yang negatif dari implementasi REDD+. Telah pula diluncurkan 'Deklarasi Program Nasional untuk Pengakuan dan Perlindungan Masyarakat Adat dengan Skema REDD+'. "Ini menunjukkan bahwa REDD+ juga relevan secara sosial. Banyak hal baik yang keluar sebagai produk dari REDD+ pembangunan di Indonesia," SBY menambahkan.
Terakhir, Presiden SBY juga percaya bahwa manajemen hutan sebagai isu multidimensi, harus fokus pada dua aspek. Pertama, pada pelestarian pohon-pohon. Kedua, pada upaya bersama untuk mencapai keseimbangan antara kebutuhan untuk pelestarian lingkungan dan kebutuhan untuk mempertahankan akses bagi masyarakat.
"Hal ini penting untuk menjamin ketersediaan sarana untuk meningkatkan kesejahteraan mereka dan pembangunan ekonomi. Hal ini sangat sejalan dengan tujuan pembangunan Indonesia, yaitu untuk mencapai pertumbuhan yang berkelanjutan dengan ekuitas," kata SBY.
Upaya konkret lainnya adalah komitmen untuk mengurangi 26 persen emisi gas rumah kaca pada tahun 2020, atau hingga 41 persen dengan dukungan penuh dari dunia internasional. Target ini menjadi prioritas dalam rencana pembangunan nasional dan regional di Indonesia.
Usai berlangsungnya segmen ini, akan diselenggarakan diskusi panel yang menghadirkan para Leaders dari dunia usaha, pemerintah daerah dan masyarakat, diantaranya CEO Unilever Paul Polman, CEP Golden Agri-Resources Franky Widjaja, CEO Cargill David MacLennan, dan Gubernur Kalimantan Tengah Teras Narang. [zul]