‪Rencana pemerintah menaikkan cukai rokok pada tahun 2015 harus sejalan dengan kebijakan penurunan cukai rokok Sigaret Kretek Tangan (SKT) yang selama ini berkontribusi besar menampung tenaga kerja dalam jumlah besar.
Kebersikukuhan pemerintah dalam menerapkan cukai tinggi kepada SKT akan menyamarakkan pengangguran dan menjamurnya rokok SKT ilegal.
"SKT harus mendapatkan perlakuan khusus karena kita memiliki beban tenaga kerja. SKT selama ini telah membantu pemerintah menekan pengangguran," ujar Direktur Indef, Dr Enny Sri Hartati dalam keterangannya (Selasa, 16/9).
Menurut Enny, kenaikan cukai rokok mungkin tidak dapat dihindarkan untuk membantu penerimaan negara. Hanya saja kenaikan tersebut lebih cocok diterapkan kepada Sigaret Kretek Mesin (SKM) dan SPM (rokok putih).‬ Terlebih, di lapangan saat ini ada SKT yang lebih tinggi dari SKM sebagaimana diatur dalam Peraturan Menteri Keuangan. Oleh karenanya Enny menegaskan agar peraturan itu segera diubah.
"Sekarang ini masih ada cukai rokok SKM tarifnya lebih tinggi dari SPM. Untuk SKT ada yang masih lebih tinggi dari SKM, itu diatur dalam Peraturan Menteri Keuangan. Aturan itu harus diubah, bagaimana caranya SKT harus lebih rendah," papar Enny.‬
Enny mengungkapkan, produksi rokok, kesehatan dan pemenuhan target penerimaan negara harus berjalan seimbang. Menurutnya, dengan perlakuan khusus terhadap SKT dan menaikan cukai SKM dan SPM maka akan terjadi keseimbangan antara membatasi produksi rokok untuk kesehatan serta menjaga penyerapan tenaga kerja.‬
"Sekarang ada perubahan tren perokok muda lebih menyukai rokok putih. Itu harus dibatasi dengan menaikan cukai SPM dan SKM. Cukai SPM logisnya harus lebih tinggi karena menggunakan bahan dari luar," jelasnya.‬
Sekretaris Forum Masyarakat Industri Rokok Indonesia (Formasi) Suhardjo mengatakan bahwa pihaknya tidak menentang kenaikan cukai rokok. Hanya saja Suhardjo meminta agar pemerintah jangan mengorbankan produsen kecil menengah dengan menyamaratakan tarif cukai SKT, SKM dan SPM.‬
Menurut dia, tingginya cukai rokok bagi SKT akan menjadi beban yang sangat berat bagi produsen-produsen SKT yang umumnya mengelola pabrik-pabrik dengan sekala kecil dan menengah. Sebagai langkah solutif, pihaknya kata Suhardjo sudah mengusulkan ke badan Kebijakan Fiskal Kemenkeu agar menata kembali tarif berdasarkan asas keseimbangan dan keadilan‬.
"Kita tidak menentang kenaikan cukai tapi harus bicara asas keseimbangan dan keadilan untuk kelas menengah dan kecil. Kalau dipukul rata yang industri besar akan menang karena memiliki kemampuan yang lebih kuat," ujarnya.‬
Jika situasi ini terus dibiarkan, Suhardjo khawatir peningkatan angka pengangguran di daerah-derah akan semakin tinggi. Ia mencontohkan, produsen rokok sebesar PT sampoerna saja menutup dua pabriknya di Jawa Timur. Bahkan PT Bentoel juga melakukan langkah yang sama dengan merumahkan 7 ribu karyawannya.‬
Disamping itu eksistensi rokok ilegal menurutnya juga akan semakin menjamur. “Rokok ilegal pasti semakin menjamur karena enggan membayar cukai tinggi,†kata Suhardjo.‬
Sebelumnya, Direktur Penerimaan dan Peraturan Kepabeanan dan Cukai Ditjen Bea Cukai, Susiwijono Moegiarso beberapa waktu lalu mengatakan, sepanjang 1 Januari hingga 30 April 2014, realisasi penerimaan cukai sebesar Rp 37,49 triliun atau naik 14,91 persen daripada penerimaan periode sama 2013.
Susiwijono menambahkan, tahun ini Ditjen Bea Cukai harus bekerja lebih keras untuk mencapai target penerimaan cukai yang dalam APBN 2014 dipatok Rp 116,28 triliun. Apalagi tahun ini pemerintah tidak menaikkan cukai rokok seiring berlakunya UU No 28/2009 tentang Pajak Daerah dan Retribusi Daerah (PDRD).
[dem]