Anggapan bahwa kalau pemilihan kepala daerah (pilkada) secara langsung diubah menjadi dipilih DPRD hanya akan merugikan lembaga survei dinilai sebagai guyonan dan terlalu menyederhakan masalah. Pasalnya, pilkada langsung adalah bagian dari deliberative democracy yang memberikan hak politik pada rakyat untuk berpartisipasi langsung pada proses-proses pemilu.
"Jadi tidak semua proses diwakilkan ke elite politik saja. Di Amerika sebetulnya pemilu langsung juga, cuma dibedakan ada popular vote dan electoral vote," tegas pengamat politik dari FISIP UIN Syarif Hidayatullah Jakarta, Ahmad Fuad Fanani, (Selasa, 16/9).
Menurut Fuad, ada yang prinsipil dalam soal pilkada langsung atau lewat DPRD. Yaitu, tentang pentingnya bangunan sistem kenegaraan Indonesia.
"Kita memakai sistem presidensial, makanya presiden dipilih langsung oleh rakyat agar mendapat legitimasi kuat. Dulu sistem parlementer ditolak karena eksekutif lemah dan gampang diintervensi dan bahkan diturunkan oleh legislatif. Akibatnya, program-program pembangunan dan pemberdayaan rakyat jadi tidak tuntas. Karena kita memilih sistem presidensial, maka turunan ke bawahnya mestinya harus sama," ungkapnya.
Karena itu, dia menambahkan, setidaknya terdapat dua potensi kerugian terbesar yang akan dialami apabila pilkada lewat DPRD. Pertama, akan terjadi instabilitas demokrasi karena DPRD bisa mengajukan interpelasi dan menurunkan kepala daerah setiap saat.
"Jika ini terjadi, DPRD bisa menyandera kepala daerah dengan kepentingan-kepentingannya," ujar tokoh muda Muhammadiyah jebolan Flinders University-Australia ini.
Kedua, hilangnya mekanisme
punishment pada kepala daerah yang tidak bekerja serius. Jika melalui pilkada langsung, rakyat bisa mengukumnya dengan tidak memilih lagi incumbent yang tidak serius bekerja.
"Tapi kalau pilkada lewat DPRD, kalaupun kepala daerahnya tidak serius bekerja tapi ia bisa "menguasai" DPRD, dan melenggang ke kekuasaaan lagi," imbuh Direktur Riset MAARIF Institute ini.
Fuad mengakui bahwa dalam pelaksanaan pilkada secara langsung selama ini terdapat permasalahan. Namun dia mengingatkan, cara menyelesaikannya bukan berarti harus kembali ke ke belakang atau dipilih DPRD.
"Pihak-pihak yang tidak puas dengan pilkada langsung dan ingin kembali ke belakang itu seperti orang yang berenang di lautan. Saat sudah sampai di tengah, tiba-tiba dia ragu. Mereka ragu jangan-jangan di depan ada ikan hiu yang (akan) memakannya, akhirnya mereka balik ke tepian lagi. Padahal, bisa jadi pas balik itu mereka bertemu ikan paus yang mengancam dan siap memakannya juga," demikian Fuad bertamsil.
[zul]