. Kekuasaan memang bisa seperti obat bius. Jika digunakan sesuai kadar dan fungsinya, obat bius bisa membantu penyembuhan dari sakit dan bermanfaat untuk kesehatan manusia. Tetapi jika overdosis, akan sangat berbahaya. Bahkan manusia yang secerdas dan sesehat apapun, jika telah overdosis dengan kekuasaan akan cenderung kehilangan akal sehat dan nuraninya. Apapun akan dilakukan, termasuk mengkhianati dan menjual harga diri serta nalar sehat.
"Inilah yang saya pahami ketika Waketum (Gerindra) Fadli Zon (FZ) bicara soal Pancasila, khususnya sila ke-4, 'Kerakyatan yang gipimpin oleh hikmat kebijaksanaan dalam permusyawaratan/perwakilan' dalam kaitan dengan RUU Pilkada, khususnya kontroversi antara pilihan kepala daerah," jelas cendekiawan yang juga pengamat politik senior AS Hikam (Selasa, 16/9).
Hikam menegaskan hal tersebut terkait pernyataan Fadli Zon bahwa sudah jelas demokrasi menurut sila keempat adalah demokrasi perwakilan. Jadi, kata Fadli, kalau mau pemilihan kepala daerah dipilih secara langsung oleh rakyat ubah dulu Pancasila.
Menurut Hikam, statemen Fadli Zon tersebut adalah tafsir yang distortif dan secara nalar tidak bisa dipertanggungjawabkan. Sebab Fadli sejatinya bicara tentang dua hal yang berbeda, tetapi mencampuradukkannya sehingga seakan-akan sama.
"Demokrasi memang bisa dilaksanakan melalui dua mekanisme: secara langsung (direct democracy) dan tidak langsung melalui perwakilan (indirect cemocracy, representative democracy). Sila ke-4 Pancasila menunjukkan bahwa mekanisme demokrasi bisa dilakukan secara perwakilan, tetapi tidak menentukan mekanisme tersebut sebagai satu-satunya," tegas Hikam.
Karena yang ditekankan oleh Sila ke-4 Pancasila adalah esensi berdemokrasi dimana kedaulatan rakyat harus selalu dilaksanakan dengan landasan etik berupa hikmat kebijaksanaan, dan selalu mengutamakan permusyawaratan ketika mengambil suatu keputusan untuk kepentingan bersama.
"Itulah sebabnya dalam praktik demokrasi di Indonesia sejak Proklamasi Kemerdekaan 1945, ada dua model mekanisme dalam hal pemilihan, baik legislatif maupun eksekutif: langsung dan tidak langsung. Kedua-duanya sama sama sah dan sama-sama Pancasilais. Itu sebabnya dlm pemilihan kepala desa, dilakukan langsung, demikian pula pemilihan presiden, dan juga pemilihan legislatif. Jika pemilihan-pemilihan langsung tidak sah dan tidak Pancasilais, maka seluruh Pileg sejak 1955 sampai 2014 adalah menyalahi Pancasila, terutama sila ke-4," beber Hikam.
"Demikian pula semua pemilihan kepala desa di seantero tanah air yang menggunakan mekanisme pemilihan langsung. Jika FZ sebagai petinggi Partai Gerindra menerima dan menikmati hasil Pileg (DPR/D) dan mengikuti dua kali Pilpres secara langsung, berarti FZ tidak konsisten dengan statemennya," sambungnya.
[rus]