30 Tahun berjalan kasus Tanjung Priok masih suram. Para korban dan keluarganya belum mendapat keadilan. Meski sudah berganti-ganti kekuasaan, janji-janji pemerintah tidak kunjung terealisasi.
Kepala Divisi Pemantau ImÂpunitas Komisi untuk Orang Hilang dan Korban Tindak KeÂkerasan (Kontras), M Daud Bereuh menyatakan, perjuangÂan para korban kasus Tanjung Priok yang terjadi 12 SeptemÂber 1984 itu masih berlangsung. Dia berÂharap pemerintahan Jokowi-JK bisa menyelesaikan kasus itu.
“Kami, para korban, dan keÂluarÂga korban Peristiwa Tanjung Priok menilai, sepanjang pemeÂrinÂtahan Presiden SBY telah gaÂgal menghadirkan keadilan bagi korban,†katanya dalam jumpa pers di kantor KontraS, Jalan BoÂrobudur, Jakarta, kemarin.
Menurutnya, peristiwa TanÂjung Priok 1984 adalah salah satu peÂlanggaran HAM berat yang maÂsih meninggalkan sejarah keÂlam dan ketidakadilan bagi korÂban.
“Sesuai laporan Komnas HAM, korban dalam peÂrisÂtiwa Tanjung Priok ini sebaÂnyak 55 orang mendapat luka beÂrat, 24 orang meninggal, dan puÂluhan lainnya masih hilang hingga kini,†paparnya.
Pada masa awal reformasi, yakni tahun 1998, keluarga korÂban mendorong agar kasus terseÂbut diungkap.
“Pada 2001 KomÂnas HAM melakukan penyelidiÂkan dan menyatakan kasus ini sebagai pelanggaran HAM berat, setelah itu diajukan ke DPR, DPR kemudian memberikan rekomenÂdasi dan Presiden ketiÂka itu Gus Dur membentuk peÂngaÂÂdilan HAM Ad hoc,†katanya.
Namun, pengadilan HAM Ad hoc tersebut malah gagal mengÂhukum pelaku dan memenuhi hak korban seperti kompensasi, resÂtitusi, dan rehabilitasi.
“Proses peÂngadilan berjalan memÂprihatinkan, saksi dan korÂban suÂdah disuap bahkan dijanÂjikan seÂsuatu, akibatnya terjadi pemuÂtarbalikan fakta,†keluhnya.
Dia juga menyayangkan peÂngaÂdilan HAM Ad hoc hanya mengaÂdili pelaku lapaÂngan. “13 aparat terÂbukti menembak korban seÂhingÂga negara wajib memberi komÂpenÂsasi baÂgi para korban. TaÂpi, sampai hari ini pemerintah belum berikan hak-hak korban,†katanya.
Kini, para korban dan keluarÂgaÂÂnya berharap pemerintahan Jokowi-JK memÂÂberikan satu harapan, bukan hanya janji penyelesaian. Tapi bukti konkret.
Dia meminta pada 100 hari pertama Jokowi-JK harus ada yang berbeda dari masa pemerinÂtahan SBY.
“Dalam 100 hari pertamanya, Jokowi-JK harus seÂgera memÂbenÂÂtuk komite kepreÂsiÂdenan sebagai langkah konkret membeÂrikan hak korban atas pemuliÂhan, sekaligus merumusÂkan peÂnyeÂlesaian kasus-kasus pelangÂgaran HAM berat yang belum tuntas,†terangnya.
Komite itu, lanjut Daud, harus bisa memastikan bahwa tidak ada hambatan lagi dalam peÂnunÂtasan kasus-kasus pelanggaran HAM beÂrat.
“Kalau ada yang sengaja memÂÂperlambat prosesÂnya, presiÂÂden harus turun taÂngan,†tegasnya.
Wanma Yetty, dari Ikatan KorÂban dan Keluarga Korban TanÂjung Priok 1984 (IKKAPRI) meÂnilai, dalam dua periode pemerinÂtahan SBYbelum memberikan keadilan bagi keluarga korban Tanjung Priok.
Dalam peristiwa tersebut, dia harus kehilangan ayahÂnya yang sampai saat ini beÂlum diketahui nasibnya.
“Pengadilan kasus Tanjung Priok sudah diwarnai praktek suap, makanya dianggap sudah selesai. Tapi, kami para korban masih tunggu keadilan,†katanya.
Dia sangat berharap pada keberanian Jokowi-JK untuk menyatakan kasus Tanjung Priok belum selesai.
“Kami tuntut presiden yang baru ini tidak meÂngulangi sikap presiden sebelumÂnya yang tidak menyelesaikan kasus Tanjung Priok. PenyeleÂsaian kasus ini adalah hak para korban yang harus diberikan oleh negara,†tekannya.
Dia meminta pemerintah segeÂra menuntaskan pemenuhan hak korban dan keluarga korban, baik melalui pengadilan atau cara-cara lain. “Hak-hak korban tetap harus diÂpenuhi tanpa harus menunggu pengadilan. Korban dan keluarga korban juga sudah banyak yang meninggal, pemerintah jangan lagi cuma janji-janji akan meÂngaÂdili penjahat HAM masa lalu,†katanya. ***