. Theresia Pontoh yang berprofesi sebagai Notaris/PPAT tersangka dalam kasus penipuan dan pengelapan yang ditangani Polda Papua menempuh jalur hukum dengan mengirim surat kepada Mahkamah Agung (MA).
Kuasa hukum Theresia, Steven Halim mengatakan surat yang dikirim ke MA dengan nomor No: 03/9/SHL/2014 ditujukan kepada Wakil Ketua MA Bidang Judisial, Ketua Muda Pidana MA dan Ketua Muda Pengawas MA. Surat ini dilayangkan agar Theresia Pontoh dapat diberikan penangguhan penahanan. Pasalnya, permohonan mereka di majelis hakim PN Jayapura tidak dikabulkan.
Melalui siaran persnya, Alumni Universitas Surabaya (Ubaya) ini menerangkan, tim penasehat hukum mengkritisi alasan permohonan penangguhan yang tidak dikabulkan oleh majelis hakim PN Jayapura, karena jelas, tersangka tidak akan menghilangkan barang bukti, karena faktanya 2 sertifikat telah disita penyidik.
"Tidak mungkin klien kami melarikan diri, klien kami berprofesi Notaris/PPAT yang notabene memiliki alamat rumah dan kantor yang jelas," ungkapnya.
Menurut Steven Halim, pengaduan ke MA juga diharapkan, agar MA melakukan kontrol proses persidangan sehingga kliennya dapat diperiksa dan diadili secara fair berdasarkan normatif yang berlaku.
Sebelumnya, Theresia Pontoh ditetapkan sebagai tersangka dalam kasus pembuatan akta jual beli tanah dengan tuduhan penipuan dan pengelapan (Pasal 372 jo 374 KUHP) oleh penyidik Polda Papua di Jayapura.
Kasus ini berawal dari adanya laporan pada 9 Juli 2013, yang melaporkan notaris Theresia Pontoh karena dampak dari batalnya jual beli tanah antara Rudi Doomputra selaku calon pembeli dan Hengki Dawir selaku pemilik tanah. Dengan akte pembuatan akte jual beli tanah SHM Nomor 02298 seluas 3.780 meter dan Nomor SHM 02229 seluas 7.424 meter, yang berlokasi di Jayapura.
Saat itu, menurut Steven Halim, persyaratan jual beli tanah belum terpenuhi karena tidak ada bukti PBB. Sehingga, Notaris Theresia Pontoh menangguhkan jual beli tanah tersebut dengan memberi tanda terima kepada Rudi Doomputra selaku calon pembeli. Namun ternyata oleh pemilik tanah jual beli tersebut dibatalkan. Sementara, sertifikat tanah dikembalikan kepada pemiliknya Hengki Dawir melalui vonis Van Dading (perdamaian) dengan Nomor 56/Pdt.G/2010/PN Jayapura.
"Jelas sudah benar prosedur dari klien kami bahwa sertifikat kembali kepada pemilik asalnya karena jual beli batal," ujar Steven Halim.
Oleh karena itu, hal ini dianggap aneh karena penyidik menetapkan tersangka atas dasar laporan tersebut. Padahal, lanjut Steven, notaris Theresia Pontoh telah bekerja sesuai Peraturan Jabatan Notaris dan PPAT yang diperjelas dengan pasal 50 KUHP yakni pejabat yang bekerja sesuai aturan tidak bisa dipidana. Hal tersebut juga didukung Pengurus Pusat Ikatan Pejabat Pembuat Akta Tanah dengan Surat Keterangan Nomor 49/P P-IPP AT/XI/2013 tertanggal 20 November 2013 yang menegaskan bahwa Notaris Theresia Ponto telah bekerja dengan benar.
[rus]