GEGAP gempita Pilkada langsung makin kehilangan marwah dan esensinya di mata rakyat. Dari tahun ke tahun penyelenggaraan Pilkada, angka golput terus meroket. Rata-rata 30 persen di setiap Pilkada. Bahkan di beberapa daerah, golput keluar sebagai pemenang.
Pilkada Jawa Tengah tahun lalu misalnya. Golput keluar sebagai pemenang dengan total 46% suara dari jumlah DPT, mengalahkan gubernur terpilih Ganjar Pranowo yang hanya memperoleh 27% suara dukungan.
Demikian juga di Pilkada Jawa Timur. Golput menang dengan 40% suara, sementara gubernur terpilih Soekarwo hanya mendapatkan 27% suara.
Fenomena hampir sama terjadi di Pilkada Jawa Barat. Golput menang 37% suara, sementara gubernur terpilih Ahmad Heryawan hanya mampu mengumpulkan 20% suara.
Di Pilkada DKI Jakarta 2012, pada putaran pertama golput juga berhasil membantai gubernur terpilih Jokowi 36,7% lawan 26,5%. Pada putaran kedua, Jokowi berhasil unggul tipis dengan memperoleh 35,3 suara, sementara golput sebesar 33,5% suara.
Kemenangan golput di hampir semua Pilkada membuktikkan rakyat sudah jemu dan kecewa dengan proses pemilihan langsung. Kejemuan sangat beralasan, karena jika dihitung dalam 5 tahun, setidaknya rakyat diundang ke TPS paling sedikit empat kali. Yaitu pada Pemilu DPR/DPD/DPRD, Pilpres, Pilkada Propinsi, Pilkada Kabupaten/Kotamadya. Kedatangan ke TPS akan bertambah jika terjadi pemilihan putaran dua. Bahkan, untuk rakyat di desa ditambah dengan pemilihan kepala desa.
Kepercayaan rakyat yang dengan sukarela berbondong-bondong ke TPS, ternyata dibalas dengan kenyataan pahit bahwa para pemimpin yang dipilih lewat pilkada langsung, banyak yang terjerat korupsi. Kasus teraktual menimpa gubernur Banten Ratu Atut Chosiyah yang divonis empat tahun penjara.
Fakta bahwa banyak kepala daerah yang terjerat korupsi merupakan pukulan telak bagi rakyat dan demokrasi. Terbukti, pemimpin hasil pemilihan langsung tidak serta-merta memikirkan rakyat. Banyak kepala daerah yang terjerat utang politik, dan harus membayarnya dengan memberikan konsesi izin tambang, hutan, mall, dan bentuk konsesi lainnya.
Kekecewaan rakyat semakin beralasan karena untuk terselenggaranya pilkada langsung dibutuhkan dana yang sangat besar. Sebagai contoh, pilkada DKI Jakarta tahun 2012 menghabiskan dana Rp 258 miliar, pilkada Jawa Barat 2013 menelan biaya Rp 1,07 triliun, pilkada Jawa Tengah Rp. 907 milyar dan Pilkada Jawa Timur Rp 943 miliar. Namun, besarnya biaya yang dikeluarkan tak sebanding dengan yang dihasilkannya.
Rakyat yang sudah jemu dan kecewa dengan proses pilkada langsung, janganlah terus-menerus dijadikan tameng oleh para pemburu jabatan untuk menutupi libido yang haus akan kekuasaan. Tanpa Pilkada langsung, siapa pun tetap berpeluang menjadi pemimpin. Tidak hanya elit saja yang bisa menguasai kursi kepemimpinan. Soekarno dan Soeharto adalah dua sosok anak kampung yang bisa menjadi pemimpin besar tanpa adanya pemilihan langsung.
[***]Penulis adalah Sekretaris Jenderal Himpunan Masyarakat Untuk Kemanusiaan dan Keadilan (Humanika)