Calon wakil presiden terpilih Jusuf Kalla (JK) yakin kenaikan bahan bakar minyak (BBM) bersubsidi tidak akan membuat rakyat kecil kian sengsara. Sungguh mencengangkan.
Menurut JK, pengalamannya menaikkan harga BBM begitu mulus, tidak dapat perlawanan yang massif dari rakyat. Jika ada penjelasan rinci kepada rakyat soal alasan pemerintah menaikkan harga BBM, maka rakyat akan paham dan tak mempermasalahkan.
JK menegaskan, jika ingin menaikkan BBM tak perlu lagi seminar dan menggalang dukungan. Cukup yakin dan laksanakan. Apalagi jika ditambah kebijakan bantuan langsung tunai (BLT) maka beres semua masalah.
Seorang politisi berkata, akan sangat lucu bila pemerintahan yang mengklaim berasal dari kemenangan rakyat, kebijakan pertamanya adalah mencabut subsidi rakyat. Meski diselipkan BLT, seperti dikatakan Rieke Diah Pitaloka, politisi perempuan PDIP yang tersohor karena kekritisannya itu, BLT hanya membantu kehidupan rakyat beberapa waktu. Sisanya, uang BLT habis dan kehidupan wong cilik makin menderita.
Namun, tidak ada opsi lain. Begitu dikatakan JK. Dia tak mau ambil pusing dengan berbagai opsi yang disodorkan oleh Tim Transisi dan juga Jokowi.
"Ah. dikaji terus bertahun-tahun. Tidak ada opsi lain. Subsisi harus dialihkan. Opsinya sekarang pindahkan konsumtif jadi produktif," tegas JK.
Sebagai pebisnis besar sekaligus politisi ulung yang biasanya berhitung cermat akan setiap dampak dari tindakan dan ucapannya, kita patut bertanya kenapa JK begitu terburu-buru. Apakah ini misi bunuh diri atau jangan-jangan justru JK pribadi sudah memperhitungkan dengan baik ke mana arah kemarahan itu akan menerkam jika kebijakan tak populer itu direalisasikan.
Ada yang mengatakan, luapan kemarahan rakyat tidak akan terlalu telak memukul JK, yang memang dikenal semua orang sebagai saudagar. Rakyat akan merasa paling disakiti, dikecewakan atau bahkan dikhianati oleh Jokowi, sosok yang selama ini tampil begitu populis, merakyat dan memahami isi hati rakyat.
Jokowi jangan anggap remeh gerutu rakyat yang hanya terdengar di lorong-lorong sempit tempatnya "blusukan" selama ini. Ia juga tidak bisa hanya mengandalkan program "cuci otak" dari media massa pendukungnya dengan harapan rakyat miskin yang jumlahnya banyak itu bisa menerima begitu saja kenaikan harga BBM. Apalagi, ada kekuatan mayoritas di parlemen yang menanti-nantikan kesalahan fatal Jokowi sebelum melancarkan "serangan" politik paling keras.
Dengan citra Jokowi yang pro rakyat selama ini, akan sangat mudah bagi publik menimpakan kesalahan sebuah kebijakan yang tidak populis terhadap dirinya seorang. Ketika rakyat sudah membenci Presiden Jokowi, dan parlemen menjadikan kekecewaan rakyat itu sebagai alasan untuk sebuah pemakzulan, lantas bagaimana?
Untuk menjawabnya, kita kembali ke aturan konstitusi. Bahwa jika Presiden mangkat, berhenti, diberhentikan, atau tidak dapat melakukan kewajibannya dalam masa jabatannya, ia digantikan oleh Wakil Presiden sampai habis masa jabatannya.
[ald]