. Sekalipun kaya akan hasil laut, bangsa Indonesia tidak dikenal sebagai pemakan ikan. Oleh karena itu, budaya maritim harus berwujud revolusi laut yang diawali dari meja makan, yakni ikan harus menjadi lauk utama bangsa Indonesia.
Demikian ditegaskan Ketua Institut Keamanan dan Keselamatan Maritim Indonesia (IK2MI) Laksyda TNI (P) Yosaphat Didik Heru Purnomo di Jakarta (Minggu, 24/8). Menurut dia, selain mencerdaskan bangsa, tradisi kuat mengkonsumsi ikan akan mendorong terbenahinya tata kelola kelautan Indonesia yang tumpang tindih.
Menurut Didik, rata-rata konsumsi ikan orang Indonesia adalah 30 kilogram per tahun masih kalah dengan konsumsi ikan orang Malaysia yang mencapai 37 kilogram per tahun. Sementara jika dibandingkan dengan konsumsi ikan orang Jepang yang mencapai lebih 60 kilogram per tahun, konsumsi ikan orang Indonesia hanya separohnya.
"Kalau konsumsi ikan saja masih rendah, itu artinya tidak mengherankan jika penanganan illegal fishing tidak dianggap penting. Jika konsumsi ikan orang Indonesia menyamai orang Jepang, artinya dua kali lebih banyak kebutuhan ikan dari data sekarang. Ini akan mendorong pemerintah Indonesia secara serius menangani lautnya agar kebutuhan konsumsi ikan orang Indonesia terpenuhi," papar mantan Kalakhar Badan Koordinasi Keamanan Laut (Bakorkamla RI) itu.
"Serius menangani tata kelola kelautan adalah mengurai keruwetan yang terjadi karena tumpang tindih peraturan dan tidak terkoordinasinya tata kelola laut karena ego sektoral," tegas Didik Heru Purnomo, yang juga mantan Kasum TNI.
Menurut Didik Heru Purnomo, kerugian Indonesia terkait dengan illegal fishing mencapai Rp 30 triliun per tahun. Angka yang sangat besar dan bisa dialokasikan misalnya untuk pendidikan.
"Jepang untuk mencari ikan saja sampai ke kutub utara, dan segala jenis ikan diburu. Sementara Indonesia yang wilayah kelautannya lebih luas dari Jepang, belum menganggap penting tata kelola satu atap kelautan Indonesia. Semua departemen atau instansi merasa punya hak atas tata kelola laut Indonesia meski untuk bertanggung jawab atas kerugian tata kelola tersebut tidak ada yang menunjukkan batang hidungnya,†ujar Didik yang juga mantan Wakasal ini.
Oleh karena itu, menurut Didik, pemerintah mendatang dalam mewujudkan budaya maritim dengan cara mendorong dunia pendidikan, keluarga dan lembaga terkait memiliki program makan ikan laut. Membentuk suatu budaya itu tidak bisa instan tetapi harus dididik, diajari dan diedukasi. Selain itu, menurut dia, pada ujungnya nanti Indonesia tidak membutuhkan banyak badan yang mengatur tata kelola kelautan. Yang dibutuhkan Indonesia, dijelaskan lebih lanjut, sebagaimana banyak negara telah melakukan adalah, memiliki satu badan dengan banyak fungsi (multi task single agency) agar tumpang tindih pengelolaan dapat dihindarkan.
"Kesemrawutan tata kelola kelautan Indonesia yang sekarang ada karena masing-masing instansi atau departemen bertindak berdasarkan peraturannya sendiri. Yang harus dipikirkan adalah kepentingan nasional, bangsa dan negara,†ujar Didik.