Konsep pertumbuhan ekonomi Indonesia era pemerintahan baru nanti perlu dikaji kembali. Pasalnya, hasil pertumbuhan hanya dinikmati segelintir pihak.
Menteri Keuangan (Menkeu) Chatib Basri mengakui, ada dampak negatif dari pertumbuhan ekonomi yang melambat. Khususnya untuk penyerapan lapangan kerja yang bisa berdampak pada kemiskinan.
“Pertumbuhan yang melambat selalu punya dampak ke lapangan kerja. Bertambah (kemiskinan) tapi tidak akan signifikan,†ujarnya.
Chatib juga mengakui, pemerintah sulit mencapai pertumbuhan ekonomi sebesar 5,5 persen. Peluang terjadinya akselerasi pertumbuhan ekonomi memang terlihat pada semester II tahun ini dengan laju sekitar 5,4 persen.
Akan tetapi, setelah melihat data paruh pertama tahun ini, menurut dia, pemerintah hanya sanggup mengejar pertumbuhan 5,3 persen.
“Kalau masing-masing kuartal 5,4 persen, maka pertumbuhan tahun ini mungkin sekitar 5,3 persen. Tapi kami usahakan 5,5 persen walaupun tidak mudah,†jelas dia.
Data Bank Indonesia (BI), pertumbuhan ekonomi triwulan II 2014 tercatat 5,12 persen (yoy), melambat dibanding pertumbuhan ekonomi pada triwulan I sebesar 5,22 persen (yoy). Realisasi pertumbuhan PDB ini sedikit lebih rendah dari perkiraan BI.
Direktur Eksekutif Departemen Komunikasi BI Tirta Segara dalam rilisnya mengatakan, perlambatan tersebut disebabkan kontraksi pertumbuhan ekspor terutama terjadi pada komoditas berbasis sumber daya alam. Sebagian ekspor barang tambang masih terhenti akibat kebijakan pelarangan ekspor mineral mentah, sementara ekspor komoditas batubara dan CPO menghadapi pelemahan permintaan.
Dari sisi domestik, perlambatan pertumbuhan ekonomi terutama bersumber dari terkontraksinya belanja pemerintah dan kegiatan investasi non bangunan.
Menurut dia, pertumbuhan ekonomi triwulan II 2014 ditopang oleh kinerja konsumsi rumah tangga yang masih kuat antara lain sebagai dampak dari pelaksanaan Pemilu, sebagaimana tercermin pada membaiknya kinerja industri makanan minuman dan industri kertas.
Kendati begitu, BI memandang perlambatan pertumbuhan ekonomi di triwulan II 2014 masih sejalan dengan langkah pengelolaan stabilisasi makro ekonomi yang dilakukan BI bersama pemerintah selama ini, terutama untuk mengendalikan inflasi dan defisit transaksi berjalan.
Direktur Eksekutif Institute for Development of Economics and Finance (Indef) Enny Sri Hartati menilai hasil pertumbuhan ekonomi hanya dinikmati segelintir pihak. Akibatnya, ketimpangan antara si kaya dan si miskin semakin melebar dalam 10 tahun terakhir ini.
“Pertumbuhan ekonomi hanya dinikmati golongan atas. Kunci masalahnya memang struktur fundamental ekonomi nasional rapuh sehingga kemiskinan kian melebar,†kata dia.
Menurut Enny, seharusnya pemerintah memperkuat perkembangan sektor riil sehingga peningkatan ekonomi menjadi merata. Dengan sektor riil maka industri bisa tumbuh, dengan industri tumbuh maka dapat menampung tenaga kerja lebih banyak.
Pengamat ekonomi Center of Reform on Economic (Core) Hendri Saparini mengatakan, laju pertumbuhan ekonomi yang mencapai 5-6 persen dalam beberapa tahun terakhir mengindikasikan kondisi ketimpangan sosial ekonomi yang makin melebar. Kelompok kaya lebih mendapatkan manfaat dari pertumbuhan ekonomi tersebut.
Menurut dia, hal itu terjadi karena dari rata-rata laju pertumbuhan ekonomi 6 persen, penduduk miskin hanya menikmati kenaikan pendapatan maksimal 2 persen per tahun. Sebaliknya, penduduk terkaya menikmati kenaikan pendapatan hingga 8 persen.
Pengamat ekonomi Anton Gunawan mengatakan, pertumbuhan ekonomi Indonesia bisa dikategorikan pertumbuhan yang kurang berkualitas. Karena kesenjangan antara orang kaya dengan orang miskin semakin melebar.
“Saat ini terjadi ketimpangan pendapatan antara orang kaya dengan orang miskin di atas 0,4 persen. Pada Orde Baru, kesenjangan pendapatan golongan kaya dan miskin hanya 0,3 persen,†ujarnya. ***