Berita

Sharif Cicip Sutardjo

Bisnis

Menteri Cicip Tolak BPH Migas Sunat 20 Persen Jatah Solar Nelayan Kecil

Dipaksa Gunakan BBM Non Subsidi Yang Harganya Lebih Mahal
SABTU, 09 AGUSTUS 2014 | 10:12 WIB | HARIAN RAKYAT MERDEKA

Penolakan pembatasan solar subsidi semakin meluas. Kali ini penolakan muncul dari Menteri Kelautan dan Perikanan (KKP) Sharif Cicip Sutardjo terkait pembatasan solar untuk nelayan.

Menteri Cicip menolak langkah Badan Pengatur Hilir Minyak dan Gas Bumi (BPH Migas) yang mengurangi kuota 20 persen solar untuk nelayan. Soalnya, pengurangan kuota akan berdampak pada produktivitas nelayan.

“Jika pengurangan 20 persen diterapkan akan menimbulkan keresahan. Tidak ada kejelasan berapa batasan alokasi per kapal nelayan,” protes Cicip di Jakarta, kemarin.


Politisi Partai Golkar itu menjelaskan, solar menjadi peranan penting bagi usaha nelayan dalam melakukan penangkapan ikan. Apalagi berdasarkan hasil identifikasi dan supervisi di beberapa pusat kegiatan nelayan, komponen BBM mencapai 60-70 persen dari seluruh biaya operasi penangkapan ikan sekali melaut.

Karena itu, pengurangan BBM subsidi sangat memberatkan nelayan. Alasannya, nelayan dipaksa menggunakan BBM non subsidi yang harganya lebih mahal.

Kondisi itu ditambah dengan musim penangkapan ikan yang masih sulit diprediksi.

“Ini mengakibatkan ketidakberdayaan nelayan untuk melaut,” ucap Cicips.
Cicip menegaskan, pemotongan 20 persen alokasi BBM subsidi untuk nelayan sangat mempengaruhi sektor kelautan dan perikanan serta akan berdampak pada kehidupan para nelayan.

Antara lain, jumlah pasokan ikan di pasar dan tempat pelelangan akan turun drastis karena kemampuan melaut para nelayan yang berkurang disebabkan harga solar yang tidak terjangkau.

Karena itu, Cicip akan berusaha agar pengurangan BBM subsidi untuk nelayan tidak sampai 20 persen. Namun, jika memang penurunannya harus sampai 20 persen, KKP akan meminta BPH Migas menjamin kebutuhan 940.366 kiloliter (KL) kapal nelayan di bawah 30 gross ton (GT) dan sisanya dibagi proporsional per kapal ukuran di atas 30 GT.

Sedangkan untuk melakukan penghematan BBM, Cicip mengklaim pihaknya telah mendorong alih muatan hasil tangkapan ke kapal lain sesuai Peraturan Menteri (Permen) Kelautan dan Perikanan Nomor 26/2014 tentang Usaha Penangkapan Ikan.

Direktur Kapal dan Penangkapan Ikan Direktorat Jenderal Perikanan Tangkap Kementerian Kelautan Muhammad Zaini me-nyatakan, nelayan akan semakin terpuruk dengan aturan ini. Salah satunya, berkurangnya jumlah produksi.

Kendati merugi karena tangkapannya berkurang, kata Zaini, nelayan tidak dapat menaikkan harga ikan. Akibatnya, biaya operasional yang mahal tak bisa tertutupi. Apalagi ikan hanya produk pangan pengganti dan masyarakat tidak akan membeli ikan jika harganya mahal.

Ketua Dewan Pembina Kesatuan Nelayan Tradisonal Indonesia (KNTI) Riza Damanik bilang, ada beberapa hal yang bisa dilakukan pemerintah agar pembatasan solar tidak menjadi beban bagi nelayan.

“Pembatasan solar tidak akan memberikan dampak signifikan bagi nelayan kecil,” ujar Riza saat berbincang dengan Rakyat Merdeka, kemarin.

Karena itu, dia mengimbau agar solar jatah kapal di atas 30 GT dialihkan kepada kapal nelayan kecil yang rata-rata berkapasitas di bawah 30 GT. Selain itu, harus ada jaminan nelayan mudah mendapatkan solar subsidi. Jangan seperti sebelumnya, nelayan malah tidak mendapatkan solar subsidi.

Selain itu, lanjut Riza, pemerintah juga dituntut untuk membangun infrastruktur dan memberikan bantuan modal bagi nelayan kecil sebagai kompensasi pemotongan alokasi solar itu. Hal ini untuk meningkatkan produksi akibat pemotongan jatah solar.

Kepala BPH Migas Andy Noorsaman Sommeng mengatakan, pemerintahan SBY kemungkinan tidak mengambil opsi menaikkan harga BBM subsidi.

Menurut Andy, kenaikan BBM subsidi akan diserahkan kepada presiden baru. “Menaikkan harga tidaklah, naikkan BBM Pak Jokowi Widodo saja nanti,” ujarnya.

Sebagaimana diketahui, mulai Senin (4/8) alokasi solar subsidi untuk Lembaga Penyalur Nelayan dipotong 20 persen dan penyalurannya mengutamakan kapal nelayan di bawah 30 GT. ***

Populer

Camat Madiun Minta Maaf Usai Bubarkan Bedah Buku ‘Reset Indonesia’

Selasa, 23 Desember 2025 | 04:16

Adik Kakak di Bekasi Ketiban Rezeki OTT KPK

Senin, 22 Desember 2025 | 17:57

Ketika Kebenaran Nasib Buruh Migran Dianggap Ancaman

Sabtu, 20 Desember 2025 | 12:33

OTT KPK juga Tangkap Haji Kunang Ayah Bupati Bekasi

Jumat, 19 Desember 2025 | 03:10

Uang yang Diamankan dari Rumah Pribadi SF Hariyanto Diduga Hasil Pemerasan

Rabu, 17 Desember 2025 | 08:37

Kajari Bekasi Eddy Sumarman yang Dikaitkan OTT KPK Tak Punya Rumah dan Kendaraan

Sabtu, 20 Desember 2025 | 14:07

Kejagung Ancam Tak Perpanjang Tugas Jaksa di KPK

Sabtu, 20 Desember 2025 | 16:35

UPDATE

Kepala Daerah Dipilih DPRD Bikin Lemah Legitimasi Kepemimpinan

Jumat, 26 Desember 2025 | 01:59

Jalan Terjal Distribusi BBM

Jumat, 26 Desember 2025 | 01:39

Usulan Tanam Sawit Skala Besar di Papua Abaikan Hak Masyarakat Adat

Jumat, 26 Desember 2025 | 01:16

Peraih Adhyaksa Award 2025 Didapuk jadi Kajari Tanah Datar

Jumat, 26 Desember 2025 | 00:55

Pengesahan RUU Pengelolaan Perubahan Iklim Sangat Mendesak

Jumat, 26 Desember 2025 | 00:36

Konser Jazz Natal Dibatalkan Gegara Pemasangan Nama Trump

Jumat, 26 Desember 2025 | 00:16

ALFI Sulselbar Protes Penerbitan KBLI 2025 yang Sulitkan Pengusaha JPT

Kamis, 25 Desember 2025 | 23:58

Pengendali Pertahanan Laut di Tarakan Kini Diemban Peraih Adhi Makayasa

Kamis, 25 Desember 2025 | 23:32

Teknologi Arsinum BRIN Bantu Kebutuhan Air Bersih Korban Bencana

Kamis, 25 Desember 2025 | 23:15

35 Kajari Dimutasi, 17 Kajari hanya Pindah Wilayah

Kamis, 25 Desember 2025 | 22:52

Selengkapnya