Sekretaris Jenderal Perhimpunan Pergerakan Indonesia (PPI) Gede Pasek Suardika mengkritisi dakwaan Jaksa Penuntut Umum terhadap Anas Urbaningrum yang dibacakan kemarin. Menurut Pasek, dakwaan JPU sebenarnya sudah membantah isi dakwaannya itu sendiri.
Pertama, di halaman 4 surat dakwaan misalnya. Disitu disebutkan, Anas dan Nazaruddin bergabung di Anugerah Group yang kemudian berubah menjadi Permai Group. Di Kongres Partai Demokrat, diduga ada aliran dana dari Permai Group untuk pemenangan Anas.
"Kalau begitu apanya yang salah, ambil uang dari tempatnya (perusahaannya) sendiri. Uniknya Anas tersangka, tetapi Nazar tidak tersangka Pasal 55 KUHP tentang turut serta," kata Pasek (Sabtu, 31/5).
Menututnya, JPU seharusnya membuktikan dulu apakah Permai Group memang kantong kejahatan. Karena logika menerima uang dari punya sendiri bukan gratifikasi.
"Meskipun putusan in kracht Wisma Atlet sudah ditegaskan, bahwa Permai Group milik Nazaruddin dan keluarga. Silahkan cek di Kemenkumham," lanjut Pasek.
Gede Pasek pun mempertanyakan tidak adanya uraian dalam surat dakwaan mengenai niat Anas untuk menjadi presiden. Di dakwaan halaman 3-4, Anas tahun 2005 keluar dari KPU karena berniat jadi Presiden RI.
"Tapi apa bentuk nyata dari niat 'jahat' itu tidak ada uraian apapun. Yang ada justru uraian kegiatan Kongres Partai Demokrat, bukan kegiatan Anas mau nyapres," ujar Pasek, politisi asal Bali.
Keanehan lain dalam surat dakwaan Anas adalah terkait Kongres Demokrat yang tertuang dalam halaman 11. Disebutkan, untuk biaya pertemuan 513 DPC & DPD di Apartemen Senayan City perincian Rp 10 juta, korwil Rp 25 juta, entertainment Rp 20 juta. Total Rp 7 miliar di bulan Januari. Apartemen itu tidak bisa nampung peserta sebanyak itu. Terus berlanjut 430 DPC di bulan Februari dengan 430 DPC, perincian sama dengan bulan Januari, total Rp 7 miliar.
"Dari dua data ini kalkulator KPK terlalu emosional sampai salah hitung. Januari 513 DPC, Februari 430 DPC. Perincian sama, kok hasil sama? Memangnya selisih 513-430 itu sedikit?" tanya Pasek, yang juga menghadiri persidangan perdana Anas kemarin.
"Lalu di halaman yang sama di tanggal 28 Maret 2010 kumpulkan 446 DPC di hotel Sultan, dan atas perintah Anas ditambah lagi 138 DPC yang sebelumnya hadir di acara deklarasi Andi Alfian Mallaranggeng. Juga diberikan uang dengan perincian sama. Jadi acara di hotel Sultan itu ada 446 + 138 = 584 DPC. Memangnya total DPC Partai Demokrat ada berapa? Kalkulator KPK emosi," jelas Pasek, yang terpilih menjadi anggota DPD RI pada Pileg lalu.
Fakta paling aneh adalah adanya fakta berbeda dalam dakwaan untuk Anas dan Dedy Kusdinar, mantan pejabat Kemenpora, untuk peristiwa yang sama.
"Dalam dakwaan Dedi Kusdinar dan Andi Mallarangeng, Anas dituduh terima uang Rp 2,21 miliar dari PT. Adhi Karya, tetapi di dalam dakwaan Anas berubah menjadi Rp 2,01 miliar. Hilang Rp 200 juta. Padahal kasus Dedi Kusdinar sudah vonis dan Inkracht," ucap Pasek.
Bahkan menurutnya, ada fakta dakwaan yang sudah terbantahkan dengan jawaban mengikuti logika isi dakwaan itu sendiri.
"Yang paling kentara juga ada di dakwaan halaman 39-41. Ada 13 nama yang diambil dari 400 DPC yang disebutkan terima uang dari Anas. Uniknya, dari 13 nama itu, ada yang bukan pemilik suara pada Kongres dan juga ada nama yang menjadi tim sukses kandidat lain. Kalau dari 400 DPC ada 13 nama yang disebutkan dalam dakwaan maka sangat tidak representasi sekali dengan konstruksinya," ucap Pasek.
"Diatas segalanya, logika yang paling sederhana, Anas kena TPPU, Anas punya Permai Group, Anas punya tambang PT Arina Kota Jaya yang semuanya dibuat dalam dakwaan JPU. Pertanyaan mendasar, kenapa demi uang negara tidak ada aset Permai Group atau PT Arina Kota Jaya yang disita? Kok lebih memilih aset Ponpes, baju batik dan buku surat yasin untuk disita? Ini pertanyaan," ujar Sekjen PPI ini.
Pasek mempertanyakan petinggi KPK yang berbicara di media bahwa Anas itu haus dan berambisi jabatan Presiden. "Bagaimana dengan ambisi petinggi KPK yang sempat mau nyawapres? Sampai-sampai konon tega tinggalkan acara seminar untuk bertemu dengan Jokowi di bandara di Jogja. Sebenarnya dalil mau nyapres itu lebih update untuk pimpinan KPK dari pada untuk Anas yang didalilkan pada tahun 2005 lalu," ujar Pasek mantan ketua Komisi III DPR RI.
"Saatnya kita awasi upaya 'pembunuhan' anak bangsa hanya karena dianggap berbahaya bagi kekuasaan lalu dikriminalkan.
Fiat justicia ruat coelum, biarpun langit runtuh, keadilan harus tetap diperjuangkan," tegas Pasek.
[zul]