PADA tulisan sebelumnya, 18 Mei di Rakyat Merdeka Online, penulis menyatakan bahwa, "Pilpres dua putaran" merupakan "Pemenuhan Ketentuan Langit". Dan memang, ternyata Pilpres yang akan digelar KPU pada tanggal 9 Juli nanti, sesungguhnya merupakan Pilpres putaran kedua!
Kok bisa? Bisa, karena Pilpres putaran pertama telah terjadi pada tanggal 19 Mei yang baru lalu. Pilpres putaran pertama terjadi karena terprovokasi oleh PDIP dengan disandingkannya JK sebagai cawapres Jokowi. Pemilihan "paksa" JK sebagai cawapres adalah reaksi atas terciptanya "janin koalisi ARB-Pramono Edhie." Pemasangan Jokowi-JK oleh PDIP, seolah ingin mengulang sejarah Pilpres 2004, yang juga waktu itu JK dianggap "berkhianat" terhadap Golkar.
Jadi pada tanggal 19 Mei itu, ketika deklarasi Jokowi-JK dan deklarasi Prabowo-Hatta, sesungguhnya sedang terjadi pertarungan "prematur" 3 poros koalisi yaitu, PDIP, Gerindra , dan "janin koalisi ARB-Pramono Edhie." Dan dengan pendeklarasian Jokowi-JK ini, PDIP berhasil menggugurkan "janin koalisi ARB-Pramono Edhie", persis seperti maksud dipasangkannya JK dengan Jokowi.
Namun tidak seperti yang diduga, alih-alih merapat ke PDIP, Golkar justru kemudian berkoalisi dengan Gerindra membawa serta PBB sebagai "bonus". Dan akhirnya, pertarungan Pilpres putaran pertama ini dimenangkan oleh Gerindra dengan skor 1-0. Selamat buat Gerindra.
Sementara SBY, dengan gugurnya "janin koalisi", kemudiaan mengatakan bahwa, Demokrat tidak akan berpihak pada salah satu capres, alias netral, baik ke Jokowi mau pun Prabowo. SBY mempersilahkan kalau ada kader-kader Demokrat yang ingin mendukung salah satu pasangan capres-cawapres tertentu secara pribadi.
Sikap SBY yang mengambil "Jalan Aman" ini bukanlah cerminan sikap seorang negarawan. Karena seorang negarawan, dengan segala resikonya, apa pun taruhannya, akan memilih "Jalan Bakti" demi negara dan Bangsanya. Apalagi kini, di akhir masa jabatannya sebagai Presiden, SBY seharusnya dengan arif dan bijaksana bisa memberikan tongkat estafet kepemimpinan negeri ini kepada "sosok" yang bisa membawa bangsa ini "bermartabat" lahir bathin.
SBY, sebagai pemimpin yang tidak selalu benar, harus memilih "Jalan Penebusan" dengan mendorong pada capres pemilik nama dengan "? huruf" sebagai penerus estafet kepemimpinannya. SBY tidak boleh membiarkan lakon "Petruk Jadi Ratu" terus digelar dan dipertontonkan. Karena lakon "Petruk Jadi Ratu" akan mengganggu keharmonisan bumi dan langit sehingga akan terjadi banyak huru-hara yang semakin masif.
Kini saatnyalah bagi SBY, untuk menggelar lakon "Bima Suci" sebagai ganti lakon "Petruk Jadi Ratu". Karena dengan digelarnya lakon "Bima Suci" maka, bangsa ini dipastikan bisa menggali dan mengenali "Jati Dirinya".
Akankah SBY memenuhi "Takdir Langit" di putaran kedua pilpres 9 Juli nanti sebagai "King Maker"?
Wallahu a’lam bish shawabi! [***]
Penulis adalah pengamat spiritual