Berita

ilustrasi

Pengawasan Kemenkes Lemah, TKI Terus Jadi Korban Sponsor

Hasil Tes Kesehatan TKI Sering Diakal-akalin Oknum PJTKI
SENIN, 17 MARET 2014 | 10:34 WIB | HARIAN RAKYAT MERDEKA

Hasil Medical Check Up atau pemeriksaan kesehatan yang menjadi salah satu persyaratan wajib dalam pengiriman Tenaga Kerja Indonesia (TKI) ke luar negeri tidak luput dari permainan oknum-oknum Perusahaan Jasa Tenaga Kerja Indonesia (PJTKI). Akibatnya, TKI menjadi korban praktik tersebut.

Hal itu diungkapkan Koordinator Jaringan Advokasi Undang Undang Penempatan dan Perlindungan Tenaga Kerja Indonesia ke Luar Negeri (Jari PPTKILN) Nurus S Mufidah kepada Rakyat Merdeka di Jakarta, kemarin. Menurutnya, selama ini banyak sertifikat medical check up TKI yang dipalsukan oleh PJTKI itu sendiri.

“Akibatnya, ketika TKI sampai di negara penempatan dan diketahui bawah mereka tidak fit atau memenuhi standar kesehatan, maka TKI tersebut tidak bisa bekerja dan dipulangkan,” katanya.


Dia prihatin karena  TKI selalu menjadi korban atas kebijakan pemerintah yang dikenakan kepada mereka. “Apalagi mereka juga dikenai biaya untuk medical chek up ini,” imbuhnya.

Ditekankan, agar kebijakan medical check up ini bermanfaat bagi TKI seharusnya kebijakan ini dilaksanakan dan diawasi langsung pemerintah dalam hal ini Kementerian Kesehatan. “Selama ini klinik-klinik yang melakukan medical check up adalah kepunyaan PJTKI itu sendiri, sehingga hasil tesnya bisa diakal-akalin,” ujarnya.

Untuk ke depannya, Nurus mendesak pemerintah perlu memperketat pengawasan ini agar TKI tidak selalu dikorbankan. “PJTKI yang mengakali medical check up itu perlu diberi sanksi pidana dan kalau perlu dicabut ijinnya, sanksi serupa juga harus diberikan kepada PJTKI yang mengirimkan TKI yang belum mendapatkan pendidikan,” tegasnya.

Sebelumnya, Ketua Umum Himpunan Pemeriksa Kesehatan Tenaga Kerja Indonesia (Hiptek) Fauzi Abdullah menyatakan, medical check up untuk calon TKI masih marak dilakukan oleh sponsor, Pelaksana Penempatan Tenaga Kerja Indonesia Swasta (PPTKIS) atau majikan menyusul tingginya permintaan TKI dari negara penempatan. Dia mengungkapkan, sertifikat medical check up banyak dipalsukan oleh PPTKIS karena calon TKI tidak lulus pemeriksaan kesehatan.

“Banyak PPTKIS memalsukan dengan mencetak sendiri sertifikat tersebut agar calon TKI tetap bisa diproses untuk berangkat bekerja ke negara penempatan,” ungkapnya.

Namun, pihaknya mengaku belum mengetahui berapa jumlah pemalsuan sertifikat kesehatan tersebut. Fauzi menyebutkan, persentase pemalsuan sertifikat kesehatan tersebut dapat diketahui dari calon TKI yang tidak lulus pemeriksaan kesehatan. “Jumlahnya mencapai 15 sampai 20 persen dari total TKI yang diperiksa,” kata dia.

Kemungkinan pemalsuan sertifikat tersebut sangat besar lantaran pemeriksaan kesehatan dilakukan satu kali bagi warga negara Indonesia yang ingin menjadi TKI. “Jadi jika tidak lulus, maka proses keberangkatan calon TKI tidak akan bisa diproses,” ujarnya.

Menurutnya, rata-rata calon TKI tidak lulus pemeriksaan kesehatan karena mengidap berbagai macam penyakit seperti tuberculosis, hepatitis B, penyakit kelamin, serta penyakit kronis lainnya. Dia mengatakan, kewajiban pemeriksaan kesehatan kepada seluruh calon TKI tersebut mengacu pada Peraturan Presiden No. 64/2011 tentang Pemeriksaan Kesehatan dan Psikologi Calon TKI yang ditandatangani Presiden Susilo Bambang Yudhoyono pada 20 September 2011. Dalam beleid tersebut, mencakup pemeriksaan fisik lengkap, jiwa, dan pemeriksaan penunjang.

“Hasil tersebut untuk memperoleh data riwayat penyakit, kelainan fisik, dan fungsi kelainan jiwa yang diminta negara penempatan,” katanya.

Sementara itu, Dirjen Pembinaan Penempatan Tenaga Kerja, Kemenakertrans, Reyna Usman mengatakan, memang banyak TKI setelah di negara penempatan baru diketahui mengidap penyakit mengerikan seperti hepatitis, TBC bahkan HIV/AIDS. “Ini semua terjadi karena banyak penipuan yang dilakukan PPTKIS. Makanya, kita mencabut izin sejumlah PPTKIS nakal,” katanya.

ICW Desak Kemen PAN-RB Lebih Transparan
Tes CPNS Jalur Kategori 2 Dipenuhi Kejanggalan

Peneliti Indonesia Corruption Watch (ICW) Siti Juliantari Rachman, mengatakan, hingga kini pihaknya terus mendapat laporan dan pengaduan tentang proses penerimaan CPNS. Berdasarkan laporan yang masuk ke ICW, ditemukan banyak masalah dalam proses penerimaan CPNS dari honorer Kategori 2 (K2), mulai dari pengumuman yang ditunda-tunda hingga masalah teknis di daerah.

“Ada beberapa hal, salah satunya masalah pengumuman yang ditunda-tunda pada K2. Pengaduan juga terkait kejelasan pengumuman dan masalah teknis di daerah,” kata Juliantari.

ICW mencium adanya 154 kecurangan yang terjadi pada proses penerimaan calon pegawai negeri sipil (CPNS) 2013. Jumlah kecurangan tersebut ditemukan baik pada tes jalur umum maupun honorer K2.

Bahkan, peneliti bidang monitoring pelayanan publik di ICW menyebut ada beberapa laporan dari peserta CPNS tentang permintaan uang oleh oknum PNS di daerah. Selain itu, ditemukan pula adanya nomor ujian peserta yang sama.

Dari laporan yang diterima ICW, kecurangan-kecurangan tersebut terjadi dari mulai awal tes CPNS dilakukan. Yaitu sejak dimulainya proses seleksi berkas hingga proses diumumkannya hasil tes CPNS tahun 2013 itu. “Jumlah tersebut dari proses awal (tes CPNS), dari jalur umum dan K2,” tutur perempuan yang akrab disapa Tari itu kemarin.

Kasus-kasus tersebut diperoleh pihaknya dari pengaduan masyarakat dan pemantauan Konsorsium LSM Pemantau Rekrutmen CPNS (KLPC) dilapangan sejak 1 September 2013 lalu. Dari jumlah 154 kasus, sebanyak 59 kasus dilaporkan dari penerimaan CPNS jalur honorer K2 dan 95 kasus dari jalur umum.

Secara detail, dia merinci 10 jenis kecurangan yang paling banyak diadukan oleh masyarakat, yakni pengumuman kelulusan yang tidak transparan sebanyak 37 kasus, pendafataran dan seleksi administrasi tidak transparan 21 kasus, 18 kasus terkait dengan K2 yang tidak memenuhi syarat, sebanyak 16 kasus terkait dengan pemerasan/peyuapan/calo/ dan 15 kasus terkait panitia yang tidak transparan.

“Ketidaktransaparanan dan calo yang masih merajalela menjadi masalah yang kembali harus disoroti,” ungkapnya.

Tak hanya kasus-kasus yang terjadi saat tes CPNS, namun ada pula laporan mengenai instansi-instansi yang juga mendukung kecurangan dalam tes satu tahun sekali itu.  Dari 154 kasus itu, lanjut dia, jika dilihat berdasarkan instansi yang dilaporkan, sebanyak 50 kasus menyebutkan BKD/BKN, sebanyak 25 kasus melaporkan Pemkab/Pemkot, sebanyak 12 kasus melaporkan PTN/sekolah, sebanyak 7 kasus melaporkan MA, sebanyak 4 kasus melaporkan Kementan.

Diakuinya, dari 154 kasus yang dilaporkan oleh masyarakat itu masih belum dilakukan penyelidikan lebih lanjut oleh pihaknya. Namun, melihat masih banyaknya pengaduan ini pihaknya menilai masih banyak yang harus dibenahi kembali dalam program seleksi ini. Meneruskan hal itu, ICW meminta agar pihak Kementerian terkait terutama Kementerian Pendayagunaan Aparatur Negara dan Reformasi Birokrasi (Kemen PAN-RB) untuk secara tegas memberikan sanksi administrasi maupun pidana bagi panitia rekrutmen CPNS yang melanggar aturan maupun SOP terkait rekrutmen CPNS.

Selain itu, ICW juga meminta agar Badan Kepegawaian Negara (BKN) lebih transaparan lagi dalam melakukan pengumuman daftar-daftar PNS yang lolos.

Pemda dirasa juga harus menyelenggrakan pelaksanaan rekrutmen CPNS dengan efektif, efisien, dan profesional.

“Kami minta, batalkan kelulusan CPNS yang diketahui curang, beri sanksi yang berat untuk PNS yang main-main menjual jasa untuk meluluskan,” tegasnya.
Dalam waktu dekat, Tari mengatakan bahwa pihaknya akan segera menelusuri dan melakukan penyelidikan lebih lanjut terhadap semua laporan yang telah diterima.

Walhi Ingatkan Presiden Agar Serius Tangani Asap
Perusahaan Yang Nakal Wajib Ditindak

Para aktivis ramai-ramai menuntut pemerintah pusat bergerak cepat dalam menangani bencana kabut asap dan kebakaran hutan di Provinsi Riau dan daerah lainnya. Mereka mendesak Presiden Susilo Bambang Yudhoyono (SBY) segera memperkuat Instruksi Presiden (Inpres) tentang moratorium perizinan perkebunan sebagai upaya jangka panjang mencegah kerusakan hutan.

Desakan itu disampaikan aktivis Wahana Lingkungan Hidup (Walhi) Zenzi Suhadi saat dihubungi Rakyat Merdeka di Jakarta, kemarin. “Inpres moratorium harus diperkuat, karena yang berlaku sekarang hanya untuk lahan gambut dan hutan primer. Moratorium juga harus diberlakukan pada lahan kritis agar bisa memulihkan diri dan fungsinya,” katanya.

Selama ini kesalahan mainstreem dari Kementerian Kehutanan dan DPR adalah, mereka menjadikan lahan kritis untuk peruntukan lain hingga perkebunan. Sehingga, lahan kritis menjadi semakin kritis.

Menurutnya, pemerintah harus menyadari bahwa jumlah perizinan perkebunan skala besar maupun Hutan Tanaman Industri (HTI) sudah melampaui ambang batas kemampuan pemerintah mengawasi dan mengendalikan dampak buruk yang bisa ditimbulkan. “Artinya jumlah perizinan harus segera dikurangi.

Minimal target pertama di perusahaan yang terbukti di lahannya terjadi pembakaran kurangi konsensinya atau cabut izinnnya,” ujarnya.

Langkah ini menurutnya harus diambil pemerintah karena ketidakmampuan perusahaan mengatasi kebakaran dan lahan di areal konsensinya menjadi bukti bahwa perusahaan tersebut kelebihan areal.

Melihat tren kebakaran hutan dan lahan beberapa tahun terakhir, Walhi menyimpulkan bahwa kerusakan hutan dan lahan sudah di luar batas lingkungan menyeimbangkan diri. Karena itu, tata kelola lahan dan tata guna ruang di daerah terutama Riau harus diubah dengan berorientasi pemulihan.

Soal kebakaran hutan, Walhi menuding pemerintah melakukan pembiaran terhadap aktivitas bakar hutan untuk kepentingan korporasi dan perseorangan.

 â€œHingga kini total sudah ada empat orang warga yang tewas akibat infeksi pernapasan, lemas karena menghirup asap, dua orang nyemplung ke Sungai karena jarak pandang yang terbatas saat mengendarai mobil,” ungkapnya.

Sementara itu, aktivis lingkungan hidup Muslim Rasyid menyarankan, pemerintah untuk mengambil prioritas dalam penanganan bencana kabut asap di Riau. “Harusnya pemerintah ambil langkah cepat. Pertama, bagaimana caranya asap hilang. Pemerintah perlu melakukan segala daya upaya agar kabut asap sesegara mungkin hilang,” katanya.

Buruh Curiga Dana BLK Dipermainkan

Jelang Pemilu kali ini dana bantuan sosial di sejumlah kementerian berada dalam posisi rawan untuk dipermainkan. Terkait dengan Kementerian Tenaga Kerja dan Transmigrasi (Kemenakertrans), serikat pekerja menduga dana Balai Latihan Kerja (BLK) yang seharusnya dipergunakan untuk meningkatkan kualitas pekerja juga rawan diselewengkan.

Sekjen Organisasi Pekerja Seluruh Indonesia (OPSI), Timboel Siregar, mengatakan peningkatan yang cukup siginifikan pada pos Bantuan Sosial (Bansos) di APBN merupakan hal yang patut dicurigai. Dia mencatat, alokasi Bansos tahun 2012  sebesar Rp 40 triliun.

Pada  di tahun 2013, alokasinya naik jadi Rp 69 triliun, dan naik lagi di tahun 2014 menjadi Rp 75,7 triliun. “Pos Bantuan Sosial ini kerap kali menjadi alat dan modal politik pengguna anggaran di kementerian untuk menuai popularitas dan suara dalam kampanye pemilu,” katanya pada Rakyat Merdeka, kemarin.

Khusus di Kementerian Tenaga Kerja dan Transmigrasi, dana bantuan sosial naik sangat signifikan dari Rp 7,68 miliar di tahun 2012 menjadi Rp 70,21 miliar di tahun 2013. “Khusus di tahun 2014 ini Kemenakertrans mengelola dana bantuan sosial sebesar Rp 25 miliar, yang patut dicurigai adalah kenaikan yang sangat signifikan dari tahun 2012 ke tahun 2013 yang naik sebesar Rp. 65 miliar lebih,” ungkapnya.

Menurut Timboel, dana bantuan sosial tersebut seharusnya disalurkan ke BLK di seluruh Indonesia. “Faktanya selama ini BLK-BLK yang ada sangat minim dalam kuantitas dan kualitas alat-alat latihan kerjanya sehingga tidak bisa mendongkrak kualitas tenaga kerja di Indonesia,” keluhnya.

Dia melihat, dana-dana bantuan sosial ini memang rawan untuk dikorupsi. “Oleh sebab itu, lembaga seperti BPK (Badan Pemeriksa Keuangan) atau KPK harus lebih kerja ekstra untuk memantau dan mengaudit dana-dana ini. Bila ada temuan maka BPK ataupun KPK secepatnya akan mengumumkan ke publik sehingga orang-orang yang terlibat menggunakan dana ini bisa diketahui publik,” katanya.

Sebelumnya, Sekretaris Jenderal Forum Indonesia untuk Transparansi Anggaran (Fitra) Yenny Sucipto, menyatakan, ada potensi kebocoran yang sangat besar pada APBN 2014 untuk kepentingan politik pihak-pihak tertentu. Kebocoran itu rawan terjadi pada dana Bansos.

”Dana Bansos tidak ada aturan mainnya. Tidak ada persyaratan soal siapa yang berhak menerima dan berapa besarnya. Ini yang rawan disalahgunakan,” katanya.   ***

Populer

Mantan Jubir KPK Tessa Mahardhika Lolos Tiga Besar Calon Direktur Penyelidikan KPK

Rabu, 24 Desember 2025 | 07:26

Kejagung Copot Kajari Kabupaten Tangerang Afrillyanna Purba, Diganti Fajar Gurindro

Kamis, 25 Desember 2025 | 21:48

Sarjan Diduga Terima Proyek Ratusan Miliar dari Bupati Bekasi Sebelum Ade Kuswara

Jumat, 26 Desember 2025 | 14:06

Mantan Wamenaker Noel Ebenezer Rayakan Natal Bersama Istri di Rutan KPK

Kamis, 25 Desember 2025 | 15:01

8 Jenderal TNI AD Pensiun Jelang Pergantian Tahun 2026, Ini Daftarnya

Rabu, 24 Desember 2025 | 21:17

Camat Madiun Minta Maaf Usai Bubarkan Bedah Buku ‘Reset Indonesia’

Selasa, 23 Desember 2025 | 04:16

Adik Kakak di Bekasi Ketiban Rezeki OTT KPK

Senin, 22 Desember 2025 | 17:57

UPDATE

Bangunan di Jakarta Bakal Diaudit Cegah Kebakaran Maut Terulang

Senin, 29 Desember 2025 | 20:13

Drama Tunggal Ika Teater Lencana Suguhkan Kisah-kisah Reflektif

Senin, 29 Desember 2025 | 19:53

Ribuan Petugas Diturunkan Jaga Kebersihan saat Malam Tahun Baru

Senin, 29 Desember 2025 | 19:43

Markus di Kejari Kabupaten Bekasi Mangkir Panggilan KPK

Senin, 29 Desember 2025 | 19:35

DPP Golkar Ungkap Pertemuan Bahlil, Zulhas, Cak Imin, dan Dasco

Senin, 29 Desember 2025 | 19:25

Romo Mudji Tutup Usia, PDIP Kehilangan Pemikir Kritis

Senin, 29 Desember 2025 | 19:22

Kemenkop Perkuat Peran BA dalam Sukseskan Kopdes Merah Putih

Senin, 29 Desember 2025 | 19:15

Menu MBG untuk Ibu dan Balita Harus Utamakan Pangan Lokal

Senin, 29 Desember 2025 | 19:08

Wakapolri Groundbreaking 436 SPPG Serentak di Seluruh Indonesia

Senin, 29 Desember 2025 | 19:04

Program Sekolah Rakyat Harus Terus Dikawal Agar Tepat Sasaran

Senin, 29 Desember 2025 | 18:57

Selengkapnya