Berita

foto:net

Bisnis

Ahli Energi UGM: Open Access dan Unbundling Picu Ketidakstabilan Harga

KAMIS, 27 FEBRUARI 2014 | 20:48 WIB | LAPORAN:

Penerapan liberalisasi gas dalam bentuk open access (pemanfaatan pipa bersama) dan unbundling (pemisahan usaha niaga dan transportasi) justru mendongkrak harga jual ke konsumen dan memicu ketidakstabilan.

Ketua Pusat Studi Energi Universitas Gadjah Mada (UGM), Deendarlianto menjelaskan, kesimpulan ini berdasarkan analisis atas 40 disertasi doktoral yang di diterbitkan di jurnal internasional.

Nah, permasalahannya, lanjut Deen, open access hanya bisa diterapkan apabila infrastruktur gas di sebuah negara sudah mapan. Artinya infrastruktur sudah menjangkau seluruh wilayah.


"Adapun di Indonesia, infrastruktur gas di Indonesia masih terbatas. Ini ditunjukkan dengan indeks infrastruktur gas yang masih sangat rendah dibanding negara lain. Dibanding dengan Malaysia dan Thailand misalnya masih jauh ketinggalan," papar Deen.

Indeks panjang jaringan gas bumi di Indonesia hanya sebesar 6,4 km/m2. Indeks infrastruktur ini merupakan perbandingan antara panjang pipa dengan luas area.
Deen melanjutkan, pada negara yang harga jual gasnya ditentukan oleh mekanisme pasar, kebijakan open access dan unbundling dapat menyebabkan fluktuasi yang memicu ketidakstabilan harga. Kondisi fluktuasi ini semakin parah manakala dipicu kondisi abnormal seperti musim dingin yang ekstrem, serangan teroris dan lainnya.

"Fakta yang ditemukan, pada tanggal 1 Januari 2014, Amerika Serikat mengalami musim dingin yang ekstrem dan membuat harga gas melonjak drastis," kata Deendarlianto menambahkan.
 
Berkebalikan dengan kondisi tersebut, beber Deen, hasil analisis ilmiah pada negara-negara yang tidak menerapkan open access dan unbundling, misalkan Rusia dan Thailand, ternyata harga gas justru jauh lebih murah.  Untuk kasus Rusia, negara yang termasuk pemilik cadangan minyak dan gas bumi lima terbesar dunia, temuan dari ahli energi UGM ini menunjukan bahwa negeri beruang merah ini melakukan ekspor gas ke Eropa dengan harga yang tinggi, karena terindeksasi dengan harga minyak. Kemudian keuntungan ekspor ini mensubsidi harga gas domestik sehingga menjadi lebih murah.

"Harga gas di Rusia tidak ditentukan mekanisme pasar tapi ditentukan oleh pemerintah. Fluktuasi harga pun tidak terjadi pada negara yang tidak menerapkan open access," jelas Deen.[wid]

Populer

Masih Sibuk di Jogja, Pimpinan KPK Belum Tahu OTT di Lampung Tengah

Selasa, 09 Desember 2025 | 14:21

Pura Jadi Latar Film Porno, Hey Bali: Respons Aparat Dingin

Selasa, 09 Desember 2025 | 21:58

Kebun Sawit Milik POSCO Lebih dari Dua Kali Luas Singapura

Senin, 08 Desember 2025 | 19:12

Berjuang Bawa Bantuan Bencana

Kamis, 04 Desember 2025 | 05:04

Mahfud MD soal Bencana Sumatera: Menyuruh Pejabat Mundur Tidak Relevan

Rabu, 10 Desember 2025 | 05:53

Cegah Penimbunan BBM

Jumat, 05 Desember 2025 | 02:00

Polri Kerahkan Kapal Wisanggeni 8005 ke Aceh

Jumat, 05 Desember 2025 | 03:03

UPDATE

12 Orang Tewas dalam Serangan Teroris di Pantai Bondi Australia

Minggu, 14 Desember 2025 | 19:39

Gereja Terdampak Bencana Harus Segera Diperbaiki Jelang Natal

Minggu, 14 Desember 2025 | 19:16

Ida Fauziyah Ajak Relawan Bangkit Berdaya Amalkan Empat Pilar Kebangsaan

Minggu, 14 Desember 2025 | 19:07

Menkop Ferry: Koperasi Membuat Potensi Ekonomi Kalteng Lebih Adil dan Inklusif

Minggu, 14 Desember 2025 | 18:24

Salurkan 5 Ribu Sembako, Ketua MPR: Intinya Fokus Membantu Masyarakat

Minggu, 14 Desember 2025 | 18:07

Uang Rp5,25 Miliar Dipakai Bupati Lamteng Ardito untuk Lunasi Utang Kampanye Baru Temuan Awal

Minggu, 14 Desember 2025 | 17:34

Thailand Berlakukan Jam Malam Imbas Konflik Perbatasan Kamboja

Minggu, 14 Desember 2025 | 17:10

Teknokrat dalam Jerat Patronase

Minggu, 14 Desember 2025 | 17:09

BNI Dukung Sean Gelael Awali Musim Balap 2026 di Asian Le Mans Series

Minggu, 14 Desember 2025 | 16:12

Prabowo Berharap Listrik di Lokasi Bencana Sumatera Pulih dalam Seminggu

Minggu, 14 Desember 2025 | 16:10

Selengkapnya