Daerah diminta tidak mengganggu kegiatan industri hulu migas dengan menuntut kenaikan dana bagi hasil karena akan mengancam penerimaan negara.
“Aspirasi daerah untuk meningkatkan hasil migas yang mereka terima tentu perlu dihargai. Tapi jangan sampai penyaluran aspirasi ini mengganggu kegiatan operasi hulu migas yang akhirnya mengancam penerimaan daerah bersangkutan,†cetus Kepala Humas Satuan Kerja Khusus Pelaksana Kegiatan Usaha Hulu Minyak dan Gas Bumi (SKK Migas) Elan Biantoro, kemarin.
Dia mengaku banyak daerah yang mengajukan kenaikan dana bagi hasil ke SKK Migas. Padahal pihaknya hanya mengurusi bagi hasil migas dalam lingkup pelaksanaan kontrak bagi hasil migas, yaitu pembagian lifting migas antara pemerintah dan Kontraktor Kontrak Kerja Sama (KKKS) sesuai dengan kontrak.
Dana hasil penjualan migas, kata dia, langsung disalurkan ke rekening pemerintah melalui Kementerian Keuangan. “Tidak ada hasil penjualan migas yang mampir ke rekening SKK Migas,†jelasnya.
Elan menjelaskan, untuk proses dana bagi hasil daerah dilakukan beberapa instansi pemerintah, antara lain Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) dan Kementerian Keuangan.
â€Kami dan KKKS berkonsentrasi pada upaya mengoptimalkan
lifting pada masing-masing wilayah kerja,†katanya.
Dia mengatakan, Kementerian ESDM bertugas membagi
lifting (produksi minyak siap jual) migas per provinsi dan per kabupaten/kota. Kementerian ESDM akan menggunakan laporan lifting per KKKS yang dilaporkan SKK Migas sebagai bahan pembanding dan alat kontrol ketika melakukan evaluasi lifting per daerah penghasil.
Sementara, Kementerian Keuangan akan memverifikasi laporan lifting yang diterima dari SKK Migas setiap bulan untuk memastikan uang yang diterima di rekening Kementerian Keuangan di Bank Indonesia sama besarnya dengan yang dilaporkan SKK Migas.
“Pengalokasian dana bagi hasil ini dituangkan dalam Surat Keputusan Menteri Keuangan,†ujarnya.
Sekretaris SKK Migas Gde Pradnyana mengatakan, dasar pemerintah membagi persentase dana bagi hasil migas adalah Undang-Undang No. 33 Tahun 2004 tentang Perimbangan Keuangan antara Pemerintah Pusat dan Pemerintahan Daerah.
Regulasi ini mengatur penerimaan minyak bumi, setelah dikurangi komponen pajak dan pungutan lain, dibagi dengan imbangan 84,5 persen untuk pemerintah pusat dan 15,5 persen untuk daerah.
Dari 15,5 persen ini, sebesar 0.5 persen dialokasikan untuk menambah anggaran pendidikan dasar pada daerah bersangkutan. Sisanya 15 persen dibagi dengan rincian 3 persen untuk provinsi, 6 persen untuk kabupaten/kota penghasil, dan 6 persen untuk kabupaten/kota lainnya dalam provinsi yang bersangkutan. “Khusus untuk penerimaan gas bumi, pembagiannya adalah 69,5 persen untuk pemerintah pusat dan 30,5 persen untuk daerah,†ucap Gde.
Lalu, sebesar 0,5 persen dari hak daerah ini akan dialokasikan untuk menambah anggaran pendidikan dasar pada daerah bersangkutan. Sisanya 30 persen dibagi dengan rincian 6 persen untuk provinsi, 12 persen untuk kabupaten/kota penghasil, dan 12 persen untuk kabupaten/kota lain.
Sebelumnya, Forum Konsultasi Daerah Penghasil Migas (FKDPM) meminta kenaikan Dana Bagi Hasil (DBH) dari dana pendapatan migas ke daerah. Daerah minta supaya DBH ini naik. Untuk daerah dari minyak menjadi 30 persen dan gas 50 persen.
Dalam APBN-P tahun 2013, pemerintah menargetkan DBH migas sebesar Rp 102,70 triliun.
***