Pelaksanaan pesta demokrasi tahun ini, Pemilu 2014, berlangsung di tengah keringnya teladan kepemimpinan. Seperti yang disampaikan Buya Ahmad Syafii Maarif di banyak kesempatan, sampai sekarang negeri ini masih mengalami kemarau panjang kepemimpinan.
Pasalnya, demokrasi masih berkutat pada prosedur-prosedur politik yang miskin substansi. Demokrasi prosedural belum mampu menjadi rahim bagi lahirnya para pemimpin-negarawan yang dibutuhkan negeri ini. Alhasil, kepemimpinan yang dihasilkan melalui proses itu, seringkali gagal menerjemahkan substansi demokrasi.
Menurut Direktur Program Maarif Institute, Muhd. Abdullah Darraz, kepemimpinan politik Indonesia hari ini setidaknya dihinggapi dua persoalan besar yakni, korupsi dan pencideraan atas kebhinnekaan. Persoalan korupsi dan sektarianisme yang mengingkari kebhinnekaan Indonesia semakin memperburuk kondisi Indonesia hari ini. Terlebih, persoalan-persoalan akut itu juga melibatkan elit-elit politik kita.
"Hal inilah yang semakin menipiskan kepercayaan dan optimisme publik pada bangsa ini. Dalam konteks itulah Maarif Award hadir untuk terus menyuntikkan asa bagi harapan dan optimisme," jelasnya Darraz pagi ini (Rabu, 29/1).
Maarif Award kembali gelar tahun ini. Maarif Award 2014 ini merupakan perhelatan yang kelima setelah sebelumnya juga digelar pada tahun 2007, 2008, 2010 dan 2012.
Penganugerahan Maarif Award 2014 ini bertujuan untuk mencari dan mempromosikan model-model kepemimpinan lokal/komunitas yang telah teruji berkontribusi dan memberi manfaat bagi komunitas dan masyarakatnya sehingga menciptakan keteladanan dan inspirasi bagi masyarakat luas. (Klik:
Untuk yang Kelima Kali, Maarif Award Kembali Digelar).
“Kehadiran MAARIF Award 2014 ini diinspirasi dari keyakinan perlunya kepemimpinan yang otentik, yang jauh dari perilaku kumuh korupsi dan berkomitmen pada penguatan kebhinnekaan. Sebuah inspirasi ditengah hiruk-pikuk kehidupan politik dewasa ini,†imbuh Darraz.
Menurut Amin Abdullah, anggota Dewan Juri Maarif Award 2014, Indonesia saat ini mengalami darurat kepemimpinan. Kepemimpinan yang dihasilkan melalui mekanisme Pemilu seringkali malah menambah pesimisme publik. Terlebih ketika melihat banyaknya pejabat publikbaik di legislatif maupun eksekutif yang terlibat korupsi.
“Bagi saya, Maarif Award adalah sebuah ikhtiar publik untuk menemukan aktor-aktor lokal yang telah teruji keberpihakan dan kerja-kerja kemanusiaannya untuk masyarakat, meski jauh dari hiruk pikuk sorotan media. Dan yang lebih penting, mereka tak terlibat korupsi,†ungkap Guru Besar UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta ini.
Maarif Award sendiri merupakan satu penghargaan terhadap anak bangsa di tingkat komunitas yang bekerja nyata merawat kebhinekaan Indonesia dengan dilandasi nilai-nilai universal keagamaan.
Sementara bagi Andy F. Noya, anggota Dewan Juri lainnya, Maarif Award tak hanya menemukan profil-profil personal yang luar biasa. Akan tetapi juga mampu menebarkan dan memperluas spirit keindonesiaan bagi publik yang lebih luas. “Dengan Maarif Award, publik bisa belajar pada kiprah, aksi dan bukti nyata anak bangsa yang berjuang untuk Indonesia dan Kebhinnekaan,†ujar presenter kondang ini.
[zul]