Besarnya uang yang berputar di sektor bisnis pengolahan minyak dan gas yang ditengarai mencapai Rp 700 triliun setiap tahun kerap menyulut terjadinya perang politik di dalam negeri. Penempatan portofolio Menteri Enerji dan Sumberdaya Mineral (ESDM) misalnya, mesti dibarengi kalkulasi politik dari berbagai kepentingan.
"Karena begitu seksi, sektor minyak dan gas bumi menjadi bancakan para politisi," kata aktivis mahasiswa 98 yang juga Ketua Komite Nasional Pemuda Indonesia (KNPI) membidangi enerji dan gas, Arif Rachman dalam diskusi "Apa Kabar Kedaulatan Migas Indonesia 2014" di Jakarta, belum lama ini.
Menurut Arif, perputaran uang sektor Migas yang menggiurkan itu seringkali menyeret-nyeret partai politik. Namun banyak yang tak menyadari, sumber-sumber Migas di dalam negeri itu memiliki batas dan akan habis karena terus menerus dikuras.
"Kita yang menghirup era reformasi, jangan lagi mewarisi praktik-praktik yang sempit, tapi mesti berfikir secara strategis ke depan," imbaunya.
Apalagi, lanjut Arif, beruntung letak geografis Indonesia di daerah tropis yang memiliki banyak sumberdaya alam enerji.
"Generasi muda mesti mensikapi secara cerdas situasi yang dihadapi dengan mengembangkan diversifikasi sumberdaya alam enerji terbarukan yang melimpah," ajaknya.
Forum diskusi yang digelar Lembaga Kajian Politik (LKP) Universitas Moestopo bersama Rakyat Merdeka Online (RMOL) itu, dimoderatori juga aktivis 98 yang juga Sekjen Pro Demokrasi (Prodem) Firman Tendry.
Sebelumnya, Sekretaris SKK Migas Gde Pradnyana mengungkapkan, sekalipun Indonesia memiliki sumberdaya alam minyak dan gas, tapi porsi yang dimiliki secara global tidaklah besar. Untuk minyak, porsi yang dihasilkan hanya berkisar 0,5 persen dari minyak dunia. Demikian juga dengan gas hanya berkisar 1,4 persen dari keseluruhan gas dunia. Adapun untuk batu bara hanya berkisar 3,1 persen dari dunia.
"Sumber-sumber migas yang ada akan habis sehingga kita mesti melakukan eksplorasi mengusahakan dari cadangan yang masih tersedia," terangnya.
Dia juga mengungkapkan, berbagai upaya telah dilakukan pemerintah sejak UU Nomor 44/1960, UU Nomor 8/1971 sampai dengan yang dikeluarkan dalam era reformasi UU Nomor 22/2001. Polanya selalu terjadi tarik menarik dengan pola dua kaki antara produsen dan negara. Sampai akhirnya dilakukan pola tiga kaki yang lebih demokratis dengan pemisahan negara, lembaga independen dan produsen.
"Pola ini yang dijalankan saat ini dengan pendapatan Migas bagi negara terus meningkat. Pola ini juga mendeskripsikan demokratisasi sebagaimana dijalankan di banyak negara," terangnya.
Sementara itu, aktivis 77-78 Indro Tjahyono mengingatkan, sekalipun kedaulatan wilayah negara itu ada, tapi praktik kolonialisme tetap saja berlangsung dalam bentuk penjajahan ekonomi dan kultural.
"Negara-negara besar terus melakukan praktik penjajahan dengan bekerjasama para komprador elit sampai ke daerah-daerah," terangnya.
Karena itu, Indro mengimbau, generasi muda mesti menyadari hal itu dan jangan sampai menjerumuskan bangsanya.
Tampil juga dsalam diskusi itu, Anggota DPR Komisi VII Bobby Rizaldi, pengusaha SPBU Syarief Hidayat dan Kabiro mahasiswa Univ Moestopo Usmar Ismail.
[dem]