Strategi ekspor sumber daya alam (SDA), khususnya gas alam cair (liquified natural gas/LNG) yang di bawah harga patokan dunia harus segera dihentikan. Kebijakan yang salah kaprah itu hanya memperkaya negara importir.
“Ekspor LNG selama ini merugikan Indonesia karena dijual di bawah patokan harga internasional. Pengelolaan bisnis itu juga tidak transparan sehingga kentara sekali lebih mengutamakan kepentingan asing,†ujar anggota Dewan Energi Nasional (DEN) Tumiran di Jakarta, akhir pekan lalu.
Menurut dia, jika mineral dan batubara (minerba) dikenakan aturan pelarangan ekspor, sudah selayaknya LNG diterapkan hal yang sama karena menjadi energi vital di dalam negeri.
Tumiran mengatakan, LNG ke depannya sangat dibutuhkan masyarakat mengingat pemerintah telah mencanangkan program konversi minyak ke gas. Apabila pengelolaan LNG benar, bisa menjadi pendukung ketahanan energi nasional.
Direktur Eksekutif Institute Resources Studies (Iress) Marwan Batubara bingung dengan kebijakan pemerintah mengekspor LNG, padahal saat ini rakyat sangat memerlukan.
“Keputusan menghentikan ekspor memang harus melalui perjuangan yang cukup berat karena negara kita telah memiliki kontrak panjang. Itu perlu dilakukan agar kerugian devisa negara akibat ekspor gas dapat ditekan,†kata Marwan.
Dikabarkan, kerugian Indonesia akibat menjual gas ke China di bawah patokan dunia selama masa kontrak 25 tahun bisa mencapai Rp 700 triliun. Jika tidak ada langkah cepat untuk mencukupi kebutuhan gas dalam negeri, kata Marwan, dikhawatirkan akan berdampak luas bagi perekonomian nasional.
Guru Besar Fakultas Ekonomi Universitas Airlangga Suroso Imam Zadjuli mengatakan, kondisi rakyat saat ini tidak jauh berbeda dengan zaman penjajahan Belanda.
Masyarakat tidak menikmati hasil pengelolaan kekayaan alamnya sendiri, malah memperkaya bangsa lain.
Dia mencontohkan, dari 12 miliar dolar AS nilai impor pangan Indonesia, tidak satu pun komoditas yang dibeli di bawah harga pasar dunia. Ketika Indonesia mengekspor LNG, malah dijual di bawah harga pasar. Rendahnya posisi tawar pemerintah membuat masyarakat selalu miskin.
Menurut Suroso, posisi tawar Indonesia yang rendah akibat tidak ada sinkronisasi antara perencanaan pembangunan nasional dan anggaran, serta banyaknya undang-undang yang dibuat untuk kepentingan asing.
“Negara seperti China, Amerika dan lainnya sudah terlalu banyak mengambil untung di berbagai industri kita seperti pertambangan. Di sisi lain, kita seperti tidak ingin membuka peluang baru dengan negara-negara lain yang mau mendirikan processing LNG di sini,†papar dia.
Menurutnya, saat ini masyarakat sangat membutuhkan gas dalam jumlah besar untuk menggerakkan sektor riil yang akan mendorong pertumbuhan ekonomi.
Suroso mendesak pemerintah tidak hanya menunggu krisis tiba baru melakukan sesuatu. Antisipasi pemerintah sangat penting untuk pemulihan ekonomi jangka pendek. “Saat ini rakyat yang selalu dirugikan. Tidak ada yang membela rakyat, padahal demokrasi itu dari rakyat untuk rakyat,†tegas dia.
Menteri Keuangan (Menkeu) Chatib Basri mengatakan, pemerintah tidak bisa hanya mengandalkan SDA untuk mendorong akselerasi ekonomi dalam negeri. Pasalnya, harga komoditas dunia masih melemah sehingga diperlukan inovasi untuk membuka sektor-sektor diluar SDA yang dapat dimanfaatkan untuk mendorong pertumbuhan. ***