Pemerintah didesak segera mempublikasikan daftar Pemerintah Daerah (Pemda) yang mengendapkan anggaran yang berasal dari Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN).
“Kami mendesak pemerintah pusat, dalam hal ini Kementerian Keuangan dan Pusat Pelaporan dan Analisa Transaksi Keuangan (PPATK) segera mempublikasikan kepada masyarakat, daerah mana saja yang mengendapkan anggaran daerahnya,†ujar Wakil Ketua Komisi XI DPR Harry Azhar Azis di Jakarta, kemarin.
Berdasarkan data Kemenkeu, dana daerah yang mengendap hingga akhir tahun anggaran 2013 mencapai Rp 109 triliun atau naik Rp 10 triliun dibanding akhir 2012 senilai Rp 99,24 triliun. Jika dibanding 2002 melonjak signifikan, di mana pada tahun itu tercatat Rp 22,18 triliun.
â€Artinya, dalam kurun waktu 11 tahun terjadi peningkatan pengendapan anggaran daerah lima kali lipat. Ini menunjukkan tidak adanya perencanaan anggaran daerah yang dirancang secara optimal bagi kesejahteraan rakyat,†ujar politisi Partai Golkar itu.
Menurut dia, perencanaan dan alokasi pembiayaan setiap daerah seharusnya dilakukan sebelum mata anggaran, pos kegiatan dan total Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah (APBD) tersebut diketok palu.
Apalagi, dalam skema penyusunan anggaran yang dikembangkan oleh Badan Perencanaan Pembangunan Nasional (Bappenas), setiap daerah dipersilakan mengusulkan total anggaran dalam APBD berikut pos-pos kegiatan yang akan dilaksanakan oleh daerah tersebut.
Usulan tersebut nanti akan dibawa dalam musyawarah perencanaan pembangunan daerah (Musrenbangda), baik tingkat kabupaten/kota dan provinsi. Selama proses Musrenbangda itu, lanjut Harry, tak jarang usulan daerah untuk suatu kegiatan dan besaran anggarannya mengalami perubahan, bahkan penghapusan karena tidak jadi prioritas.
Melihat ketatnya skema dan proses penetapan total anggaran bagi setiap daerah, Harry berpendapat, seharusnya tiap daerah menghargai dan mengoptimalkan dana yang diterimanya untuk meningkatkan sektor infrastrastruktur dan sektor lainnya demi meningkatkan kesejahteraan rakyat.
â€Tapi tampaknya daerah tidak perduli. Jadi, kami mendesak pemerintah pusat mempublikasikan daerah yang tidak perduli itu,†desak Harry.
Direktur Eksekutif Komite Pemantauan Pelaksanaan Otonomi Daerah (KPPOD) Robert Endi Jaweng menyatakan, dana mengendap di daerah disebabkan kurangnya kemampuan birokrasi dalam mengelola anggaran. Alih-alih mengkonversinya menjadi program pembangunan, anggaran banyak ditabung di Bank Pembangunan Daerah (BPD).
BPD, kata Endi, umumnya tidak mau repot menyalurkan anggaran tersebut menjadi kredit produktif untuk usaha mikro, kecil, dan menengah. BPD lebih gemar membeli Sertifikat Bank Indonesia (SBI) dengan harapan mendapatkan bunga. Bunga ini secara formal akan masuk mata anggaran lain-lain dalam Pendapatan Asli Daerah (PAD).
Di berbagai daerah, hasil bunga tersebut kemungkinan tidak masuk ke PAD, tetapi masuk ke kantong kepala daerah dan kroninya. Dalam modus ini, anggaran sengaja diinvestasikan untuk kepentingan pribadi.
Plt Dirjen Perbendaharaan Kemenkeu Boediarso Wibowo mengaku, masih banyak anggaran APBN yang mengendap. Artinya, hanya tersimpan di kas daerah dan tidak terserap sesuai dengan semestinya. Padahal, banyak kebutuhan infrastruktur daerah yang masih kurang. ***