Berita

Sri Utami

On The Spot

Biayai Pengobatan Gratis, Jualan Jamu Keliling

Dirikan 4 Rumah Sakit Murah Untuk Warga Tak Mampu
RABU, 18 DESEMBER 2013 | 09:43 WIB | HARIAN RAKYAT MERDEKA

Tangguh, pekerja keras, dan berjiwa sosial. Karakter itu melekat kuat dalam diri Sri Utami, pendiri empat rumah sakit untuk pasien kurang mampu di Solo, Jawa Tengah. Untuk memperjuangkan impiannya tersebut, dia rela menjadi tukang cuci baju dan berjualan jamu gendong.

Bila melihat kiprah Sri Utami saat ini, orang mungkin tidak akan menyangka bahwa perempuan kelahiran Kediri, 13 Oktober 1948, tersebut dulu melakoni bermacam pekerjaan serabutan. Mulai buruh cuci, jual jamu keliling, guru senam, tukang jahit, hingga perias penari Keraton Mangkunegaran, Solo. Tapi, Sri sekarang lebih dikenal sebagai “Kartini” di bidang kesehatan.

Dari tangan dingin istri dr Mudzakkir SpAn itulah Solo mempunyai rumah sakit-rumah sakit murah untuk masyarakat kurang mampu. Awalnya, Sri mendirikan RS Mojosongo pada 1 April 2001. Sekarang, 12 tahun kemudian, rumah sakit tersebut berkembang menjadi tiga rumah sakit semacam yang menyebar di Kota Budaya itu.

Januari 2014 nanti satu lagi RS dioperasikan di bawah manajemen yang dikelola Sri dan staf.

Tentu saja, perjuangan Sri Utami tidak mudah. Sri adalah anak ke-13 di antara 17 bersaudara putri pasangan R Moentoro dan Sihmini. Setelah menuntaskan sekolah di SMA Muhammadiyah 2 Solo dan Sekolah Bidan Muhammadiyah Solo, dia melanjutkan pendidikan di IKIP Negeri Solo jurusan filsafat kebudayaan hingga mendapat gelar sarjana muda.

Sri lalu dipersunting Mudzakkir, pemuda pilihan sang ayah. Pada 1972, anak pertama mereka lahir. Saat itu Sri menjadi guru di SMA Cokroaminoto, Solo, sedangkan suami menjadi guru SD. Keluarga baru tersebut sempat pindah ke Bandung.

Di Kota Kembang itu, Sri menjadi manajer HRD perusahaan makanan. Tapi, hanya enam tahun di Bandung, dia akhirnya memutuskan kembali ke Solo untuk mendampingi suami yang melanjutkan kuliah di Fakultas Kedokteran PTPN (Perguruan Tinggi Pembangunan Nasional) Veteran, Surakarta. Sebelum pindah ke Bandung, Mudzakkir memang sempat kuliah di situ, namun baru 9 bulan berhenti.

Nah, demi cita-cita suaminya tersebut, Sri rela melepas karir di Bandung dan menjadi ibu rumah tangga. Bahkan, lantaran tuntutan ekonomi, dia bersedia bekerja serabutan seperti menjadi buruh cuci baju dan berjualan jamu keliling. “Saya ingin suami kuliah lagi dan meraih cita-citanya menjadi dokter,” tutur Sri.

Tidakkah ada perasaan canggung menjalani pekerjaan serabutan setelah menjadi manajer HRD. “Tidak sama sekali. Yang penting halal dan atas izin suami. Toh juga untuk membantu perekonomian keluarga,” ungkapnya.

Meski penghasilan yang diterima tidak begitu besar, Sri masih mampu menyisihkan untuk biaya kuliah suami, biaya sekolah anak-anak, operasi rumah tangga, dan menabung. Sebagian tabungan itu digunakan untuk membeli obat-obatan yang dipakai saat mereka mengadakan pengobatan gratis untuk warga.

Sri dan suami memang kerap mengadakan pengobatan gratis untuk warga sekitar yang membutuhkan. “Biasanya kami mengundang warga yang ingin berobat tanpa dipungut biaya,” tuturnya.

Uniknya, untuk memanggil warga itu, mereka cukup membunyikan kaleng atau umplung. Warga pun lama-kelamaan hafal tanda panggilan tersebut. Karena itu, Mudzakkir kemudian mendapat panggilan dokter umplung. Berkat pengabdian tanpa pamrih itu, Mudzakkir terpilih menjadi dokter teladan tingkat nasional pada 1985.

“Saat itu Bapak (Mudzakkir) ditugaskan di puskesmas di Blitar,” ungkap Sri.
Setelah meraih predikat dokter teladan, Mudzakkir mengambil spesialis anestesi di FK Undip, Semarang. “Bapak sempat marah. Dia tidak mau menyusahkan saya lagi. Tapi, setelah saya jelaskan tujuannya, beliau akhirnya setuju.”

Sepulang ke Solo lagi, Sri bersama suami merasa prihatin karena masih banyak warga kurang mampu yang tidak bisa mendapat pelayanan kesehatan yang layak karena terbentur biaya. Dari situlah, Sri tergerak untuk membuat rumah sakit murah guna membantu warga kelas bawah tersebut.

Berbekal tabungan yang dikumpulkan selama puluhan tahun, Sri memberanikan diri untuk mendirikan rumah sakit murah RS Pelayanan Medik Dasar Mojosongo. Rumah sakit itu sekaligus menjadi kado untuk sang suami yang berulang tahun pada 1 April 2001.

Saat diresmikan, rumah sakit tersebut hanya memiliki seorang bidan yang mengurusi pasien setiap hari. Sri mengerjakan bagian umum, mulai membantu memasak makanan pasien sampai menyapu lantai.

Namun, seiring waktu, rumah sakit itu berkembang pesat. Buktinya, Sri lantas bisa mendirikan RSKB Mojosongo 2 di Karanganyar, Klinik Mojosongo 3 di Delanggu, dan yang terbaru Klinik Mojosongo 4 di Sukoharjo.

Rumah sakit-rumah sakit di bawah pengelolaan Sri mempunyai misi sebagai rumah sakit murah, cepat, dan aman. Sri menerapkan sistem pelayanan kesehatan yang sama, tidak membedakan kelas.

“Servis yang diberikan, obat-obatan, tindakan, semua sama. Yang beda hanya ruangan, tergantung pilihan pasien,” ujarnya.

Saat ini RS Mojosongo menyediakan pelayanan unit gawat darurat (UGD), kebidanan dan kandungan, kesehatan ibu dan anak, apotek, penyakit gigi dan mulut, bedah umum, bedah ortopedi, telinga hidung tenggorokan, serta laboratorium, USG, dan radiologi. Setiap bulan pada minggu pertama, rumah sakit itu secara rutin mengadakan layanan periksa kesehatan gratis.

Ada juga senam bersama yang bisa diikuti umum. “Sambil mengajar senam, saya menyosialisasikan pentingnya hidup sehat. Dengan begitu, sakit bisa dicegah,” urai Sri.

Berkat kontribusinya kepada masyarakat, Sri meraih beberapa penghargaan. Antara lain, anugerah pelopor penggerak pembangunan Kartini Award 2013 pada April lalu.

Dia juga terpilih menjadi salah satu di antara 89 Tupperware She Can!, penghargaan untuk para perempuan inspiratif Indonesia. Penghargaan itu diserahkan di Jakarta, Jumat (6/12).

Ditanya kunci sukses, perempuan yang hobi menulis dan bermain piano itu menyebutkan, dukungan keluarga menjadi kunci keberhasilannya mewujudkan cita-cita.

“Restu suami itu modal yang paling mahal. Tanpa restunya, saya tidak bisa menjadi seperti sekarang, tidak bisa bekerja dan bergerak hingga bisa mendirikan rumah sakit,” ungkapnya.

Hebatnya lagi, empat putra-putrinya kini juga mulai mengikuti jejak orang tuanya. Tiga di antaranya menjadi dokter. Yakni, dr Helmi Masnan (anak kedua), drg Unis Khairunnisa (anak ketiga), dan dr Zen Ahyar, si bungsu yang kini diserahi mengelola salah satu rumah sakit yang didirikan sang ibu. Hanya si sulung Novia Alfie yang berbeda profesi. Dia menjadi notaris.

“Anak-anak juga tidak tahu ibunya pernah jungkir balik bekerja macam-macam demi biaya sekolah mereka dan papanya. Mereka tahunya setelah saya beberapa kali diwawancarai wartawan,” ucap Sri lantas tersenyum.

Suami Terkenal Setelah Ditulis Dahlan Iskan


Sri Utami kerap ikut suaminya dr Mudzakkir melakukan pengobatan massal dari desa ke desa. “Biasanya, aku jadi seksi sibuk. Membantu menyiapkan obat-obatan atau melakukan apa saja,” katanya.

Untuk memanggil warga desa, mereka membunyikan kaleng atau umplung. Karena keseringan melakukan aksi itu, suaminya mendapat julukan dokter umplungan.

“Pernah Pak Dahlan Iskan, yang sekarang menjadi Menteri BUMN, menulis tentang aksi suamiku saat beliau masih jadi wartawan. Akibatnya, suamiku semakin terkenal. Beberapa koran lokal dan nasional ikut menuliskan kisahnya,” tutur Sri Utami.

Setelah kisahnya dimuat di media massa, dr Mudzakkir terpilih dan mendapat penghargaan sebagai dokter teladan. Awalnya, tingkat kabupaten Blitar. Kemudian tingkat Provinsi Jawa Timur. Terakhir tingkat nasional di tahun 1985. 

“Bila ingat itu semua, kini rasanya aku ingin sekali bertemu Pak Dahlan Iskan.

Pasalnya, aku turut menikmati senangnya saat suamiku dinobatkan jadi dokter teladan. Selama sebulan aku diajak suami ke Jakarta menginap di Hotel Wisata. Banyak acara bergengsi yang kami datangi di zaman Orde Baru itu,” kata Sri Utami.

Pernah selama delapan bulan menjadi dokter puskesmas, suaminya tak kunjung mendapatkan gaji. “Alhamdulillah, kami bisa bertahan dengan uang hasil penjualan mobil dan barang berhargaku di Solo,” ujarnya.

Untuk menghemat belanja rumah tangga, Sri Utami menanam sayuran di halaman dinas yang luas. Benih sayurnya pemberian para tukang bakul dan tukang becak di Solo yang ditolong berobat.

Sri Utami dan keluarganya tak risau soal makanan. Sebab, banyak pasien yang berobat dan membayar dengan singkong. “Di dapurku bertumpuk singkong. Kadang singkong itu aku goreng lalu aku masukkan ke kaleng-kaleng. Lantas kubagikan lagi ke pasien atau tamu yang datang ke rumah,” imbuhnya.

Setelah suaminya dinobatkan sebagai dokter teladan, Sri Utami dan keluargnya kembali ke Solo. Suaminya kemudian melanjutkan studi di Fakultas Kedokteran Universitas Diponegoro untuk mengambil spesialis anestesi.

Lulus kuliah, suaminya ditugaskan di rumah sakit di Kupang, Nusa Tenggara Timur. Belakangan, Sri Utami menyusul. Tiga anaknya ditinggal di Solo. Sembilan bulan di Kupang, suaminya dipindahkan ke Rumah Sakit Karyadi Semarang.

Sri Utami kembali ke Solo karena suaminya diminta merawat ibundanya Ibu Tien Soeharto yang sakit di RS DKT Solo.

Dihina Rumah Sakit Kandang Ayam
Pemilik Merangkap Pembantu Umum

Sekembali di Solo, usaha Sri Utami semakin berkembang. Mulai dari sepatu, perawatan badan (luluran) hingga permata. Ia pun rajin keluar-masuk kelurahan untuk melihat statistik penduduk. Data statistik menunjukkan masih banyak warga yang kurang mampu.

Ia pun berniat membuat rumah sakit untuk kalangan itu. Ini sekaligus sebagai kado ulang tahun suaminya pada 1 April 2001.“Seorang dokter kalau diberi hadiah rumah sakit pasti akan senang,” kata Sri Utami.

Dengan modal tabungan dari keuntungan berbagai usaha, Sri Utami mulai membuka rumah sakit. Diberi nama Rumah Sakit Pelayanan Medik Dasar Mojosongo.

“Awalnya, ada yang menghina rumah sakit ini sebagai rumah sakit kandang ayam. Tapi menurutku ini rumah sakit yang hebat,” kata Sri Utami. Ia membuat rumah sakit ini dari hanya satu pegawai. Sebagai pemilik, Sri Utami merangkap pembantu umum, membantu memasak, menggantikan posisi sopir, sampai menyapu lantai.

Meski sudah memiliki beberapa pegawai, Sri Utami kerap turun tangan menjalankan rumah sakit ini. “Pernah ada ada pegawai baru mengusir agar tak duduk di ruang depan karena dia hendak bersih-bersih. Aku tidak marah karena dia tak tahu bahwa akulah pemilik rumah sakit ini,” kata Sri Utami sambil tertawa.

Meski memiliki rumah pribadi Jalan Mangkunsarkoro, Sri Utami lebih sering tinggal di RS Mojosongo . Di sini Sri Utami punya banyak teman. Suami dan anak-anakku sudah sibuk dengan pekerjaannya masing-masing.

Zain, anak bungsuku, kini sudah menjadi dokter dan sekarang mengelola RS Mojosongo Palur. Anak sulungku sudah menikah dan tinggal di Jakarta.

Selain membuka pengobatan dengan biaya murah, RS Mojosongo juga telah membuat beberapa kegiatan. Misalnya, mengadakan pelatihan dan seminar penanganan pasca bedah.

“Pernah, kami menargetkan peserta seminar sebanyak 100 orang. Ternyata paramedis yang datang dari berbagai rumah sakit di Solo dan Yogyakarta membludak hingga 150 orang. Sampai kehabisan sertifikat,” tuturnya.

Sejak nama Sri Utami terkenal, rumah sakitnya kerap didatangi sejumlah kalangan. Misalnya, pemilik rumah sakit lain, dokter dari Lampung, ibu-ibu PKK hingga rombongan dosen universitas. Sri Utami pun kerap diminta jadi pembicara di kampus-kampus.

“Senang karena bisa tambah teman dan makin pintar karena bisa saling bertukar ilmu,” pungkasnya. ***

Populer

Pernah Bertugas di KPK, Kapolres Boyolali Jebolan Akpol 2003

Senin, 07 Oktober 2024 | 04:21

Warganet Beberkan Kejanggalan Kampus Raffi Ahmad Peroleh Gelar Doktor Kehormatan

Senin, 30 September 2024 | 05:26

Laksdya Irvansyah Dianggap Gagal Bangun Jati Diri Coast Guard

Sabtu, 05 Oktober 2024 | 03:45

WNI Kepoin Kampus Pemberi Gelar Raffi Ahmad di Thailand, Hasilnya Mengagetkan

Minggu, 29 September 2024 | 23:46

Aduan Kebohongan sebagai Gugatan Perdata

Selasa, 08 Oktober 2024 | 10:03

Selebgram Korban Penganiayaan Ketum Parpol Ternyata Mantan Kekasih Atta Halilintar

Senin, 07 Oktober 2024 | 14:01

Stasiun Manggarai Chaos!

Sabtu, 05 Oktober 2024 | 13:03

UPDATE

Anak Usaha Telkom Hadirkan DreadHaunt, Gim Bergenre Survival Horror

Rabu, 09 Oktober 2024 | 01:57

PDIP Bisa Dapat 3 Menteri tapi Terhalang Chemistry dengan Gibran

Rabu, 09 Oktober 2024 | 01:53

2 Jam 1 Meja

Rabu, 09 Oktober 2024 | 01:40

Dua Mantan Pegawai Waskita Karya Digarap Kejagung

Rabu, 09 Oktober 2024 | 01:38

KPK Sita 7 Mobil dan Uang Rp1 Miliar usai Geledah 10 Rumah

Rabu, 09 Oktober 2024 | 01:24

Bareskrim Bakal Bongkar Puluhan Artis dan Influencer Terlibat Promosi Judol

Rabu, 09 Oktober 2024 | 00:42

Mudahkan Warga Urus Paspor, Imigration Lounge Kini Hadir di Mal Taman Anggrek

Rabu, 09 Oktober 2024 | 00:19

KPK Cekal 5 Tersangka Korupsi Pencairan Kredit Usaha Bank Jepara Artha

Selasa, 08 Oktober 2024 | 23:52

Polisi Tangkap Penyekap Bocah 12 Tahun Selama Seminggu di Kalideres

Selasa, 08 Oktober 2024 | 23:42

KPK Usut Dugaan Korupsi Pencairan Kredit Usaha BPR Bank Jepara Artha

Selasa, 08 Oktober 2024 | 22:52

Selengkapnya