PADA dasarnya kita memahami bersama salah satu cita mulia konstitusi Indonesia adalah mencerdaskan kehidupan bangsa. Untuk mencapai tujuan itu, pemerintah yang mendapatkan tugas meningkatkan mutu pendidikan termasuk menyelenggarakan evaluasi secara nasional menerbitkan sejumlah peraturan.
Dalam mendukung Ujian Nasional (UN) dilahirkan aturan seperti Keputusan Menteri Pendidikan Nasional Nomor 153/U/2003, dimana pasal 2 menyebutkan tujuan UN adalah mengukur pencapaian hasil belajar peserta didik, mengukur mutu pendidikan secara nasional dan mempertanggungjawabkan penyelenggaran pendidikan secara nasional. Hal itu diperkuat Permendiknas Nomor 77 tahun 2008 dimana tujuan UN adalah menilai pencapaian kompetensi lulusan secara nasional pada mata pelajaran tertentu dalam kelompok mata pelajaran ilmu pengetahuan dan teknologi.
Meski mendapatkan dukungan berbagai piranti kebijakan, pemerintah masih mendapatkan protes keras terkait penyelenggaraan UN. Seorang pakar pendidikan, HAR Tilaar bahkan secara skeptis mengajukan gugatan, apakah UN berfungsi untuk meningkatkan mutu pendidikan atau menghukum anak. Kegelisahan itu disebabkan banyak dampak negatif UN seperti kebiasaan menyontek sebagai akar korupsi, kebocoran soal ujian dan dampak psikologis yang memberatkan kepada siswa yang tak lulus UN.
Tak kalah memprihatinkan, UN berfungsi menghukum dimana hasil belajar tiga sampai enam tahun ditentukan beberapa mata pelajaran kunci selama beberapa hari saja. Dalam menjawab keraguan kalangan yang peduli pendidikan nasional, Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan berinisiatif mengadakan konvensi UN akhir September lalu.
Beberapa keputusan strategis dilahirkan seperti kesepakatan UN tetap dijalankan untuk mengukur prestasi siswa dan mengubah manajemen Ujian Nasional dengan melibatkan partisipasi aktif semua kalangan. Tidak ketinggalan, pemerintah memastikan penentuan rasio kelulusan siswa akan mempertimbangkan nilai ujian sekolah. Semua hasil itu bertujuan membentuk formula yang ideal, kredibel, reliabel, dan akuntabel
Namun, jika dicermati secara mendalam konvensi UN masih mengandung banyak kelemahan. Hal ini wajar mengingat tujuan konvensi mengalami penyimpangan karena menutup pintu kritik terhadap kalangan yang menolak UN. Akibatnya, konvensi UN tak ubahnya ajang mencari dukungan untuk melanggengkan UN sehingga Federasi Guru Seluruh Indonesia yang selama ini mengkritisi UN memutuskan walk out. Merespons itu, salah satu legislator, Ahmad Zainuddin menilai konvensi UN tidak menyelesaikan masalah karena kontroversi kalangan pro dan kontra masih akan tetap berlangsung. Hemat penulis, konvensi UN masih menyisakan tiga kelemahan yang luput dari perhatian pemerintah dan peserta konvensi.
Pertama, masih munculnya paradigma UN sebagai ajang “hukuman†berbentuk kuantitatif kepada peserta didik. Pemerintah secara utuh melanggar hak asasi anak, sebab tetap menjadikan UN sebagai standar penentu kelulusan. Padahal UN seharusnya digunakan untuk pemetaan kualitas pendidikan nasional, sedangkan fungsi dan standar kelulusan seharusnya diserahkan kepada masing-masing daerah karena kondisi pendidikan di tiap daerah berbeda-beda. Pemerintah juga secara jelas melanggar Peraturan Pemerintah Nomor 19 Tahun 2005 (jo. PP 32 tahun 2013) tentang Standar Nasional Pendidikan dimana hasil UN digunakan untuk pemetaan, sarana seleksi untuk melanjutkan pada jenjang pendidikan yang lebih tinggi, dan pembinaan.
Kedua, Konvensi UN tak berhasil menemukan rumusan tepat untuk mengatasi daerah yang selalu terpuruk dalam ranking UN. Seperti kita ketahui bersama, setiap tahun Nusa Tenggara Timur selalu menduduki peringkat akhir dalam ranking UN. Kondisi itu seharusnya mendapatkan perhatian serius pemerintah dan peserta konvensi sehingga proses pemerataan pendidikan dapat terjadi di seluruh Indonesia. Pengabaian terhadap NTT menegaskan konvensi tidak pernah serius mencari solusi atas persoalan mendasar yakni pemetaan dan pemerataan pendidikan sebagai asas dasar pendidikan untuk semua kalangan (education for all)
Ketiga, konvensi tidak merumuskan sedikitpun bentuk sanksi yang tegas kepada para pelaku kecurangan Ujian Nasional. Kondisi ini sangat mengecewakan, sebab kita sama mengetahui bagaimana jual beli kunci jawaban selalu terjadi tiap penyelenggaraan UN. Selain itu, kerjasama pihak sekolah, dinas pendidikan dan siswa juga acapkali terjadi demi meningkatkan prestise sekolah dengan jaminan kelulusan 100 persen. Maka, jika tak ada hukuman tegas, jangan pernah mengharapkan UN akan membentuk siswa yang berkarakter. Untuk itu, pemerintah diharapkan berani mengambil keputusan pembubaran sekolah yang curang dalam UN sebagai bahan pelajaran membentuk perilaku jujur dalam UN.
Akhirnya kita mengharapkan pemerintah bersikap bijaksana dalam menentukan kelangsungan masa depan pendidikan Indonesia. Pelaksanaan UN perlu ditinjau ulang, sebab kurikulum Indonesia khususnya SMA seperti ditegaskan Muchtar Buchori hanya dapat diikuti 30 persen peserta didik. Karena itu dapat diramalkan, peserta yang dapat mencapai nilai minimum UN tidak akan lebih dari 40 persen. Jika itu terjadi, UN akan menjadi penentu kelulusan yang memancing kemunculan budaya koruptif dunia pendidikan Indonesia (Soedijarto:2008)
Inggar Saputra
Mahasiswa Magister Ketahanan Nasional Universitas Indonesia
(alamat lengkap di redaksi)