KITA saksikan bersama, diantara gejala sosial politik yang cukup menarik-tetapi memprihatinkan sejak periode reformasi sampai kurun waktu ini-adalah semakin menguat dan berkobarnya hasrat politik sebagian anggota masyarakat Indonesia. Keprihatinan kita bukan karena minat kita kepada politik itu terlalu besar, tetapi pada waktu yang sama idealisme terhadap perbaikan bangsa ini secara menyeluruh telah makin memudar, jika bukan tenggelam.
Politik telah menjadi mata pencarian melalui jalan-jalan pintas yang serba menerabas. Terbongkarnya penggunaan ijazah palsu, rela membunuh teman atau saudara sendiri, menggunakan uang ‘najis’, atau berkorupsi untuk mencari modal memenangkan pertarungan pucuk pimpinan atau seleksi calon legislative adalah diantara indiokator tentang betapa semakin rancunya suasana moral sebagian masyarakat.
Politik sebagai pencarian, mungkin ada yang membenarkan atau sah sah saja, namun pada ghalibnya politik adalah wadah perjuangan, alat untuk mewujudkan cita-cita demi perbaikan masyarakat yang diinginkan. Sebagaimana Imam Mawardi menulis dalam Kitab Assyiyasah, beliau mendefinisikan politik adalah tasyarroful imam ala roiyah manutun bil maslahah. Politik adalah distribusi kebijakan untuk perbaikan umat….
Mengingat lapangan kerja kita yang sangat sempit, angka pengangguran tetap tinggi maka pintu politik seolah jadi alternative sebagai mata pencaharian. Yang hendak saya kritisi hanyalah wawasan sebagian besar politikus kita yang tidak melampaui halaman rumahnya. Korupsi yang semakin merajalela, kehidupan amoral para wakil rakyat dan pejabat Negara yang makin tidak berteladan untuk rakyat, tidak pernah dirisaukanya. nasib bangsa ke depan tidak pernah menjadi pikiran dan konsentrasinya, secara keseluruhan dalam menapaki masa depan.
Memang tidak jarang seorang politikus membela demokrasi dalam wacana dan berbicara memperjuangkan rakyat, tetapi dalam praktek dan prinsip demokrasi dan kerakyatan itu dilangkahi begitu saja. Gejala ini dapatlah berakibat buruk bagi rumah masa depan bangsa ini. Saya tetap berharap dan berdoa’ bahwa dari sekian ratus politisi kita kelak masih muncul para idealis dan moralis sehingga rasa muak masyarakat terhadap parta-partai kita akan berangsur hilang.
Setelah reformasi, praktek korporatisme Negara boleh dikata bisa dihentikan, dan kemudian memungkinkan rakyat Indonesia bisa membangun korporatisme masyarakat yang ditandai dengan besarnya partai politik. Namun sayangnya, setelah partai politik memainkan peran penting mendominasi banyak perubahan di berbagai aspek kehidupan, tampak partai tidak merepresentasikan diri sebagai alat perjuangan rakyat.
Partai lebih banyak mewakili aspirasi dan kepentingan elit politiknya sendiri. Sementara itu, aktor politik lebih sering mempertontonkan sahwat politiknya sendiri ketimbang mendengar jeritan aspirasi konstituen mereka. Lantaran prilaku elit partai yang demikianlah partai menjadi kekuatan otonom dan terpisah dari urat nadi-nafas kepentingan rakyat. Kondisi ini sejatinya adalah pengulangan di masa lalu? Hanya yang membedakan praktek demikian dilakukan oleh negara, sementara saat ini kita saksikan partai menjadi kuasa atas nasib rakyat. Bahkan kecenderungan demkian jika tidak disikapi dan dibenahi akan berubah mematahkan dan mematikan aspirasi yang tumbuh dari rakyat, jangan heran jika partai sekarang kesulitan mencari dukungan rakyat.
Melihat hal demkian, proses penyadaran dan pencerahan politik menjadi keharusan kalau kita ingin segera keluar dari situasi abnormal politik. Caranya adalah dengan tetap dan terus memperkuat masyarakat kewargaan yang memiliki daya kritis, yang bersedia mengambil bagian turut melakukan kontrol serta terlibat aktif dalam berpartisipasi mengawal perpolitikan bangsa yang partisipatoris, tertib dan bersih.
Bisa disederhanakan, kebijakan politik saat ini, berkembang atas dasar syahwat politik para elitnya. Politik lebih di dasarkan kepada kepentingan jangka pendek. Politik bukan dikemas untuk membangun kebaikan bersama. Namun politik masih dikonstruk untuk menutup kepentingan subsistensi ekonomi, dan terekonstruksi sebagai sebuah okupasi, sebuah mata pencaharian, yang lalu dengan mudah mengundang praktek korupsi dan kolusi kembali, sadarkah?.
Farhan Effendy
Aktivis '98 dan Pengurus Harian DPP Partai Demokrat