Pasca penetapan Teddy Tengko sebagai tersangka kasus korupsi APBD Kabupaten Aru, Maluku tahun 2006-2007, jabatan bupati di kepulauan tersebut lowong hingga kini.
Menteri Dalam Negeri, Gamawan Fauzi pun didesak segera melantik Wakil Bupati Umar Djabumona menjadi bupati defenitif. Desakan ini dikemukakan sejumlah anggota DPRD Kepulauan Aru di gedung Kemendagri hari ini (Rabu, 10/7). Namun ternyata Mendagri tidak berada di tempat.
"Kami sebagai wakil rakyat merasa bahwa masyarakat kita tidak terlayani hak-haknya dalam APBD yang ada," terang Wakil Ketua DPRD Kepulauan Aru, Frans Leunupun saat ditemui di Gedung B kantor Kemendagri, Jakarta Pusat.
Frans menjelaskan, pasca penetapan Bupati Teddy Tengko sebagai tersangka, DPRD Aru langsung mengangkat wakil bupati, Umar Djabumona sebagai penggantinya. Langkah ini diambil agar pelayanan-pelayanan publik tetap berjalan.
Hanya saja, proses pengangkatan Umar sempat mengalami kendala karena rapat paripurna tidak memenuhi quorum dan peraturan yang dipergunakan hanya Peraturan Kepala Daerah (Perkada), bukan lagi Peraturan Daerah (Perda).
"Permasalahan quorum, kami telah melaksanakannya, di dalam tata tertib Kabupaten Kepulauan Aru mengamanatkan bahwa setengah dari anggota yang hadir itu sah. Kalau Perkada kita terbatas dengan pelayanan-pelayanan publik, sehingga ini kita upayakan wakil bupati agar segera dilantik menjadi bupati agar Perkada ini kita bisa balik menjadi Perda," ujarnya.
Sebagai wakil rakyat, lanjut Frans menegaskan, sudah menjadi tanggung jawabnya untuk terus mendorong agar pemerintahan di Kepulauan Aru tetap berjalan. Sejurus dengan Frans, anggota Komisi II DPRD Kepulauan Aru, Eli Darakay mengatakan, jika Umar nantinya dilantik menjadi bupati defenitif, maka kursi wakil bupati menjadi kosong. Untuk menjaga kondisi yang ada, Umar nantinya, menurut Eli, akan mengusulkan dua nama calon wakil bupati dari partai yang ada di parlemen. Hal ini sesuai UU 32 pasal 30 ayat 2.
Teddy, seperti diberitakan, divonis bersalah dalam kasus korupsi APBD Aru tahun 2006-2007 sebesar Rp 42,5 miliar oleh Mahkamah Agung (MA) pada 10 April 2012.
Putusan itu menjatuhkan pidana penjara empat tahun, denda Rp 500 juta, dan keharusan mengganti kerugian negara sebesar Rp 5,3 miliar.
[wid]