Berita

Pemenang Konvensi Capres Partai Demokrat Ditentukan Survei

KAMIS, 20 JUNI 2013 | 21:08 WIB | LAPORAN: ADE MULYANA

Konvensi calon presiden Partai Demokrat berbeda dengan konvensi yang pernah dilakukan Partai Golkar pada 2004 lalu.

Tapi, penentu siapa pemenang konvensi diserahkan kepada hasil survei, bukan berdasarkan suara Dewan Pimpinan Daerah (DPD) atau Dewan Pimpinan Cabang (DPC).

"Survei publik yang menentukan rating. Siapapun yang tertinggi akan memenangkan konvensi," ujar Ketua DPP Partai Demokrat Kastorius Sinaga dalam diskusi bertajuk "Siapa yang Ikut Konvensi Partai Demokrat" di Galeri Cafe, Taman Ismail Marzuki, Jakarta, Kamis (20/6).


Kastorius mengatakan survei publik kandidat akan dilakukan oleh lembaga independen. Survei dilkukan dalam skala nasional dan daerah mencakup tingkat popularitas dan elektabilitas kandidat.

Lebih lanjut Kastorius mengatakan, selain itu kandidat juga harus memenuhi syarat lainnya, antara lain memiliki sumber daya ekonomi yang besar, memiliki visi yang relevan dengan masa depan Indonesia dan tampilan si kandidat. Apakah komunikatif, termasuk tampan atau tidak. "Pilpres itu pertarungan yang berat. Untuk memenangkan harus dengan empat faktor itu," imbuhnya.

Pertengahan April lalu, Board of Advisor Center for Strategic and International Studies (CSIS), Jeffrie Geovanie, sudah mengusulkan agar konvensi capres Partai Demokrat tak meniru konvensi Golkar atau konvensi seperti di Amerika Serikat. ''Konvensi ala Golkar rawan terhadap politik uang. Sedangkan konvensi ala Amerika bersandar pada primary (pemilihan awal),'' ujar Jeffrie.

Menurut Jeffrie, konvensi ala Amerika (primary) tidak cocok untuk Indonesia, karena, primary umumnya tertutup. Ia menuturkan, pemilih yang ikut primary umumnya hanya anggota partai yang bersangkutan. ''Kalau primary Republik maka anggota partai Demokrat tidak boleh ikut. Hasilnya pasti tidak mencerminkan aspirasi pemilih nasional,'' tuturnya.

Ia berharap konvensi capres yang akan digelar Partai Demokrat memungkinkan semua peserta konvensi melakukan sosialisasi terbuka lewat media massa yang punya jangkuan nasional.

Setelah itu, lanjut dia, menjelang konvensi nasional dibuat survei pemilih secara ilmiah di masing-masing provinsi. ''Siapa yang mendapat urutan pertama, maka dia mengambil seluruh kuota suara di provinsi itu. Inilah sistem the winner takes all,” kata Jeffrie. Hasilnya dibawa oleh delegasi provinsi ke konvensi nasional. Delegasi ini hanya membawa hasil survei.

Misalnya,  kata dia, kalau di Aceh yang unggul nomor 1 Dahlan Iskan, maka delegasi Aceh mencalonkan Dahlan. Kalau di Jawa Timur yang nomor 1 Mahfud, maka delegasi Jatim mencalonkan Mahfud.

Untuk menjamin agar tetap proporsional, tutur Jeffrie, kuota suara provinsi ditentukan oleh jumlah pemilih provinsi bersangkutan dibanding pemilih nasional.

Aceh misalnya 2 persen sedangkan Jatim 16 persen. Kalau total suara di konvensi nanti 100, maka Jatim mengirim 16 orang dengan suara ke Mahfud semua. ''Aceh 2 orang dengan suara ke Dahlan semua. Demikian seterusnya. Nanti dihitung siapa yang mendapat suara paling banyak dari semua provinsi itu,'' tuturnya.

Menurut Jeffrie, cara seperti itu merupakan konvensi baru. Ia menambahkan, jika survei nasional yang menjadi basis dalam mengambil keputusan, maka calon yang ditetapkan akan sangat mencerminkan aspirasi pemilih nasional.

''Kalau ini yang terjadi, Demokrat membuat inovasi politik besar, dan baru. Bukan hanya dalam politik kita tapi juga di dunia. Konvensi Nasional Berbasis Pemilih Nasional sebagaimana direkam secara ilmiah lewat survei adalah gagasan baru dan efisien,''paparnya.

Disebut efisien, kata Jeffrie, karena dibanding konvensi Golkar dulu  biayanya bisa mencapai ratusan miliar dikeluarkan, dan hasilnya tidak efektif.

Primary juga, lanjut dia, sangat mahal. ''Primary itu kan seperti pemilihan sebenarnya, melibatkan puluhan juta pemilih. Butuh persiapan dan lain sebagainya. Pasti mahal, padahal hasilnya kurang mencerminkan aspirasi pemilih nasional.''

Mengenai banyaknya kalangan yang menyangsikan kredibilitas lembaga survei, Jeffrie tidak menampik memang ada lembaga yang kredibel dan ada yang tidak.

Mengenai hal itu, menurut Jeffrie, bisa dilihat dari rekam jejaknya dalam pilpres sebelumnya. Juga bisa dilihat dari orang-orang yang ada di belakang lembaga itu, apakah mereka kompeten atau tidak. Misalnya dilihat dari keilmuan dan pengalamannya. [zul]

Populer

Mantan Jubir KPK Tessa Mahardhika Lolos Tiga Besar Calon Direktur Penyelidikan KPK

Rabu, 24 Desember 2025 | 07:26

Kejagung Copot Kajari Kabupaten Tangerang Afrillyanna Purba, Diganti Fajar Gurindro

Kamis, 25 Desember 2025 | 21:48

Sarjan Diduga Terima Proyek Ratusan Miliar dari Bupati Bekasi Sebelum Ade Kuswara

Jumat, 26 Desember 2025 | 14:06

Mantan Wamenaker Noel Ebenezer Rayakan Natal Bersama Istri di Rutan KPK

Kamis, 25 Desember 2025 | 15:01

8 Jenderal TNI AD Pensiun Jelang Pergantian Tahun 2026, Ini Daftarnya

Rabu, 24 Desember 2025 | 21:17

Camat Madiun Minta Maaf Usai Bubarkan Bedah Buku ‘Reset Indonesia’

Selasa, 23 Desember 2025 | 04:16

Adik Kakak di Bekasi Ketiban Rezeki OTT KPK

Senin, 22 Desember 2025 | 17:57

UPDATE

Pramono Pertahankan UMP Rp5,7 Juta Meski Ada Demo Buruh

Rabu, 31 Desember 2025 | 02:05

Bea Cukai Kawal Ketat Target Penerimaan APBN Rp301,6 Triliun

Rabu, 31 Desember 2025 | 01:27

Penemuan Cadangan Migas Baru di Blok Mahakam Bisa Kurangi Impor

Rabu, 31 Desember 2025 | 01:15

Masyarakat Diajak Berdonasi saat Perayaan Tahun Baru

Rabu, 31 Desember 2025 | 01:02

Kapolri: Jangan Baperan Sikapi No Viral No Justice

Rabu, 31 Desember 2025 | 00:28

Pramono Tebus 6.050 Ijazah Tertunggak di Sekolah

Rabu, 31 Desember 2025 | 00:17

Bareskrim Klaim Penyelesaian Kasus Kejahatan Capai 76 Persen

Rabu, 31 Desember 2025 | 00:05

Bea Cukai Pecat 27 Pegawai Buntut Skandal Fraud

Selasa, 30 Desember 2025 | 23:22

Disiapkan Life Jacket di Pelabuhan Penumpang pada Masa Nataru

Selasa, 30 Desember 2025 | 23:19

Jakarta Sudah On The Track Menuju Kota Global

Selasa, 30 Desember 2025 | 23:03

Selengkapnya